Judul Wayang Cenk Blonk yang sudah beredar di pasaran : Gita Raga, Gugurnya Gatotkaca, Ludra Murti, Pustaka Danur Dara, Ratna Takeshi, Kumbakarta Lina, Suryawati Hilang, Peranda Vs Sokir, Sangut, Merdah, Delem, Clip Wayang Cenk Blonk, Clip Lagu Bali. Clip Wayang Cenk Blonk http://www.youtube.com/watch?v=D2LKAl3tfXg&mode=related&search= http://www.youtube.com/watch?v=y4F5ysCazI0 http://www.youtube.com/watch?v=1PlzXZcD1kY&mode=related&search= http://www.youtube.com/watch?v=NTr-PMDKJsY&mode=related&search= http://www.youtube.com/watch?v=6b5a9qaDQvk&mode=related&search= http://www.youtube.com/watch?v=VUHoYBNaOEY&mode=related&search= http://www.youtube.com/watch?v=sc_FjiSQ1fw&mode=related&search= http://www.youtube.com/watch?v=vf_VwHJ7bns&mode=related&search= http://www.youtube.com/watch?v=renGpia7-Uo&mode=related&search= Wayang, kesenian tradisional dahulu mungkin akan membosankan jika ditonton remaja. Sedari aku kecil, sangat jarang pertunjukan wayang bisa menyedot ratusan penonton yang antusias. Paling hanya Wayang Lemah (Wayang yang dipentaskan siang hari), sedikit menghias upacara-upacara kecil, yang penontonnya mungkin lebih tertarik pada gadis-gadis yang bersliweran lewat membawa nampan berisi kopi dan camilan. Namun kini Wayang di Bali, telah mulai bangkit dengan begitu banyak kreasinya. Menyedot perhatian penonton tua muda hingga anak kecilpun antusias menanti, kapan pertunjukan akan diadakan. Bahkan tak jarang, tampa pamflet yang ditempelpun, informasi begitu cepat menyebar dari kuping ke kuping masyarakat yang memang menantikan hiburan ditengah krisis Indonesia berkepanjangan. Cenk Blonk Belayu, pertama kali aku kenal dari seorang teman kerja, Ramaita, yang iseng membeli vcd original 2 keping, kalo gak salah, tahun 2002, dan tak bosan-bosan kami tonton saat istirahat, maupun hanya didengar suaranya saja, saat asyik bekerja, lantas mulai ditularkan pada sanak sodara hingga dibuatkan kopiannya dan dikirim ke Kanada, untuk kakak yang bersekolah disana. Keluar dari pakem yang ada, menciptakan 2 penokohan baru, kalo tidak salah, Nang Ncenk dan nang Eblonk, yang selalu keluar tampil menjelang berakhirnya cerita. Hingga kini sudah 3 vcd originalnya yang beredar plus 1 vcd bajakan benar-benar menciptakan hiburan yang baru di mata masyarakat, yang mulai sering dipentaskan saat upacara-upacara besar di Pura maupun tempat-tempat pertunjukan. Tidak salah jika kini banyak dalang-dalang yang latah, ikut-ikutan berusaha untuk eksis, seperti Wayang Joblar, namun bagiku pribadi, sangat disayangkan bahwa baik cerita maupun banyolan yang dibawakan sangat vulgar dan kasar, bahkan terkesan memaksa. Tidak heran kalau para peniru ini tidak berumur panjang. Ceng Blonk sampai hari ini, bagi kami pribadi ilingkungan rumah, makin bertambah saja penggemarnya. Anak-anak kecil keponakan kami, bahkan mulai merayu Bapak maupun Kakek mereka untuk dibuatkan Wayang dari karton maupun kertas manila, untuk kemudian berandai menjadi Dalang layaknya Cenk Blonk Belayu. Yang lebih membuatku tersenyum, walaupun dalam hati, Istriku bahkan mulai ikut menyukai walau hanya baru sebatas mendengarkan banyolannya saja, yang iseng-iseng aku potong dan kumpulkan, hanya pada bagian lawakannya saja –Sangut Delem dan tokoh Cenk Blonk. Ini terjadi, lantaran Om dari Istri baru sebulan ini resmi menjadi Dalang baru didesanya. Semoga saja, apa yang telah dirintis oleh Cenk Blonk, benar-benar dapat membangkitkan Dalang-dalang baru yang tentunya diharapkan tanpa menjadi penjiplak, apa yang telah dilakukan Cenk Blonk sebelumnya. Jika mendengar nama dalang I Wayan Nardayana, kening Anda pasti berkerut, siapakah dia? Tetapi kalau mendengar nama Cenk Blonk, pastilah langsung ingatan Anda melayang pada pertunjukan wayang yang sangat digemari banyak kalangan. Wayang Cenk Blonk memang tengah naik daun, namun tahukah Anda bahwa perjalanan suksesnya tidak gampang? Dalang laris yang tengah mengambil kuliah di Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Denpasar ini pernah bekerja sebagai tukang parkir di swalayan Tiara Dewata. Namun demikian ia tetap mengasah kemampuannya dalam mendalang. Ia mengakui bahwa lakon wayang yang dibawakan dulunya lebih banyak yang ngomong jorok, namun sekarang ia berusaha memasukkan banyak tuntunan pada masyarakat. Lantas, mengapa dalang yang berpentas sedikitnya 20 kali per bulan ini menolak didokumentasikan pementasannya? Tetapi, mengapa ia justru bangga banyak dalang yang menirunya? Berikut wawancara Bali Post dengan dalang Cenk Blonk. Hasil wawancara ini juga disiarkan Radio Global 99,15 FM, Sabtu (28/6) kemarin. MENGAPA Anda memakai nama Cenk Blonk? Dalam pewayangan ada beberapa tokoh punakawan yang namanya Nang Klenceng, Nang Ceblong, Nang Ligir, Nang Semangat dan sebagainya. Tokoh-tokoh itu sudah dikenal masyarakat. Pada mulanya, nama wayang saya bukan Cenk Blonk, namun Gitaloka. Makanya setiap pementasan saya cantumkan di kelir nama "Wayang Gitaloka dari Belayu". Setiap pentas saya menampilkan dua tokoh itu, Nang Kleceng dan Nang Ceblong selain Tualen, Merdah, Sangut dan Delem. Tetapi setiap pentas, tidak ada orang yang menyebut nama pertunjukan saya Wayang Gitaloka. Waktu pentas di Jempayah, Mengwitani, saat saya masih duduk di mobil dan ada penonton yang bertanya pada temannya, "Wayang apa yang pentas?" Temannya menjawab, "Wayang Cenk Blonk." Saya kaget, lho saya kok dibilang Wayang Cenk Blonk? Padahal nama wayang saya Wayang Kulit Gitaloka. Mungkin bagi masyarakat nama itu lebih gampang. Maka akhirnya saya ubah nama Gitaloka menjadi Wayang Kulit Cenk Blonk, di kelir saya isi dengan gambar Cenk Blonk, lalu saya beri tulisan Cenk Blonk. Cenk saya ambil dari nama Nang Klenceng dan Blonk dari Nang Ceblong. Anda banyak berimprovisasi dalam pewayangan yang tidak lazim di Bali, mengapa? Suatu kesenian menurut saya tidak boleh kaku, diam, sementara zaman bergelinding terus. Jadi, suatu kesenian harus mengikuti zamannya. Saya melirik apa yang disenangi penonton saat ini. Kita tahu, fungsi wayang sebagai wali, tuntunan dan tontonan. Sebagai tontonan harus bisa menarik dan menghibur masyarakat. Bagaimana dalang bisa memberikan tuntunan pada masyarakat, sementara penontonnya enggak suka. Sekarang kebanyakan orang stres dengan pekerjaannya, jadi mereka menonton itu untuk mencari hiburan atau menghilangkan kepenatan sehingga banyak lelucon yang saya tampilkan. Setelah saya kuliah di STSI Denpasar, saya diingatkan terus-menerus bahwa wayang itu sebagai tontonan dan tuntunan, sehingga saya berusaha mengembalikan ke fungsi semula yaitu tuntunan. Saya melucu tetap melucu namun leluconnya saya isi dengan muatan-muatan agama, politik, ekonomi dan sebagainya. Ini mungkin yang membuat kita semakin eksis. Dari mana dan bagaimana proses mendapatkan ide pementasan? Ide-ide itu muncul dari baca buku, koran, banyak bergaul dan banyak bertanya. Dari percakapan sehari-hari dengan tidak sengaja kita mendapatkan suatu poin atau ide. Saya tidak menutup diri bahwa saya pun meniru dalang-dalang yang lain. Misalnya dalang favorit saya IB Ngurah (alm) dari Buduk, dalang Jagra dari Bongkasa, ada beberapa dialognya yang saya tiru namun tidak jiplak begitu saja, saya kembangkan sesuai dengan kemampuan saya. Apa resep yang bisa diterapkan agar wayang semakin menarik? Saya kembalikan pada saya sendiri. Wayang beberapa tahun yang lalu hanya ditonton orang-orang dewasa atau orang tua. Lalu saya berpikir, bagaimana caranya agar wayang itu menarik untuk anak-anak remaja, makanya saya cari apa yang disenangi remaja tanpa lepas dari norma-norma. Melucu boleh, namun ada aturannya. Perlu diketahui, membuat lelucon lebih sulit daripada membuat filsafat. Membuat filsafat bisa kita dapatkan dari membaca buku, lalu kita tulis dan hafalkan. Tetapi membuat lelucon? Bisa saja kita tulis lalu kita bacakan, lantas apakah penonton mau tertawa? Makanya saya mengimbau kepada dalang-dalang agar terus mengasah diri, terjun ke masyarakat dan mencari tahu apa yang mereka sukai dan apa yang diingini. Kesenian bukan untuk diri sendiri sang seniman, namun hasil karyanya untuk orang lain. Bagaimana suatu kesenian itu bisa dikatakan bagus kalau yang nonton tidak ada? Mengapa Anda kuliah di STSI? Denpasar? Setelah laris seperti sekarang, bagi seniman, ini adalah tantangan. Kita tidak boleh berdiam diri atau berbangga diri sebab penonton punya rasa bosan. Untuk mengantisipasi ini, saya terus mengasah diri. Setelah kuliah di STSI Denpasar saya dapat rasakan bergaul dengan seniman-seniman, dengan dosen yang tahu tentang wayang. Akan semakin terbuka wawasan kita untuk memandang bagaimana wayang itu agar dapat kita kembangkan sejauh kemampuan kita. Sebelumnya saya tidak punya guru khusus mendalang. Selain itu, sebelum kita kembangkan harus tahu dasar-dasar tradisinya, barulah kita akan melangkah pada pengembangan. Apa ilmu yang dapat Anda terapkan dari kuliah di STSI? Seperti yang sering penonton lihat, artistik kelir itu saya dapatkan dari STSI. Pengaruhnya memang banyak dari Jawa, namun saya transfer dengan gaya Bali. Ada tambahan sinden. Sebelum kuliah, wacana leluconnya pasti agak norak atau porno, namun sekarang saya berusaha terus-menerus untuk menekan hal-hal seperti itu. Rasa tidak puas mendapatkan kuliah pasti ada. Itulah sebabnya saya sering bertanya pada dosen baik di dalam kelas maupun di luar kelas. Bagaimana awalnya Anda mendalang? Saya tamat SMA tidak punya pekerjaan. Ekonomi morat-marit. Saya tidak punya keterampilan sehingga melakoni pekerjaan apa saja, termasuk sebagai tukang parkir. Namun saya terus berpikir, apakah kehidupan saya akan terus begini? Saya masih mencari jati diri, itulah sebabnya saya kuliah di IHD (Institut Hindu Dharma, red), namun terbentur dengan biaya. Akhirnya terpaksa berhenti dan menikah. Pekerjaan dalang ini sudah saya tekuni. Namun demikian, saat itu pentasnya tidak tentu. Kalau ada orang yang meminta saya mendalang barulah pentas, enam bulan belum tentu. Saya lakoni sebagai tukang parkir sambil melirik peluang pekerjaan lain. Saya rasakan payah sekali waktu itu, sebab dari Blayu ke Gemeh, Denpasar, saya pulang-perginya naik sepeda gayung. Tetapi waktu itu perasaan sakit atau kurang sehat tidak pernah saya rasakan. Mungkin karena sering olah raga. Enggak seperti sekarang sakit-sakitan. Setelah saya kawin, entah bagaimana, pekerjaan mendalang itu mulai laris. Awalnya saya pentas di Blahkiuh, lalu merembet ke Abiansemal dan seterusnya. Jadi cerita tentang pementasan wayang saya dari mulut ke mulut, akhirnya banyak sekali orang yang meminta saya pentas. Sebelum laris mendalang, seperti apa perangkat wayang yang Anda miliki? Saya tidak punya warisan wayang dari leluhur. Tetapi sejak kecil saya suka mengukir dan menggambar. Saya bikin wayang sendiri. Awalnya saya punya 20 buah wayang dan di-pelaspas di pura. Saya di-winten jro mangku, maka saya sah jadi dalang. Sambil jalan saya bikin lagi dan kalau punya uang saya beli wayang. Hingga sekarang saya masih membuat wayang sendiri. Saya punya satu gedog wayang untuk koleksi. Saya belum pernah terima pesanan wayang. Tetapi kalau dipesan untuk bikin wayang, saya enggak sanggup, enggak sempat. Setelah laris, Anda justru membatasi pementasan, mengapa? Pertama, untuk kesehatan. Sebab pekerjaan dalang banyak begadang. Kalori untuk begadang lebih banyak dikeluarkan. Di samping itu, untuk menjaga agar penonton tidak bosan. Semakin sering kita pentas, penonton akan semakin cepat bosan. Sebab kita akui, sebagai manusia kita mempunyai keterbatasan. Bagaimana kita setiap malam bisa memuaskan penonton? Sementara penonton terus menginginkan hal-hal yang baru. Kita belum tentu mendapatkan hal-hal baru. Sekitar dua tahun yang lalu saya pernah tifus dan opname 10 hari, lalu saya mengaso satu bulan. Ada yang bilang kalau dalang Cenk Blonk sudah meninggal. Itu namanya gosip, namanya juga seniman atau selebritis kan biasa diisukan, ha, ha, ha... Seberapa banyak Anda pentas dalam satu hari? Kalau dulu saya pernah pentas satu malam dua kali. Misalnya pukul 20.00 sampai 22.30 wita, lalu sisanya ke tempat lain. Karena orang senang, maka jam berapa pun orang akan menunggu. Sekarang saya enggak mau seperti itu, semalam hanya pentas sekali saja. Sebab persiapan untuk pentas satu kali itu lama sekali. Selain itu, sekarang saya bekerja sama dengan sanggar. Personelnya berasal dari desa-desa yang jauh. Biasanya, personel kami 30 orang termasuk penabuh, gerong, dan pendamping-pendamping saya. Normalnya, kami mulai pentas pukul 21.00 wita, pukul 19.00 sudah sampai di tempat. Apakah ada pesan-pesan yang diselipkan penanggap wayang Anda? Itu tidak tentu. Kalau penanggapnya ingin memasukkan pesan dalam pertunjukan wayang, biasanya disampaikan jauh-jauh hari saat ia pesan untuk pementasan. Lebih banyak diserahkan pada kreasi kami. Biasanya saya pentas dalam rangka upacara, misalnya upacara manusa yadnya atau dewa yadnya. Usia Anda masih muda, namun seakan sudah jadi dalang senior, bagaimana perasaan Anda? Maaf, saya bukan merasa diri senior. Saya masih tetap belajar. Sejak umur delapan tahun saya sudah mulai belajar mendalang. Saya pakai wayang kertas atau wayang karton. Di desa kami ngumpul delapan orang lalu membuat satu grup gamelan wayang yang diiringi tingklik. Hampir setiap malam pentas. Kalau ada orang ngotonan, kami diminta pentas dengan alat sederhana, kelir seadanya dan wayangnya dari karton serta gedog-nya dari triplek. Saat kenaikan kelas, rapor saya semuanya merah. Lalu orangtua saya marah. Wayangnya dibakar. Orang tua saya petani dan beliau menginginkan saya jadi pegawai. Tetapi saya tidak berkeinginan seperti itu. Sebelum mendalang saya juga punya grup drama gong yang sering juga pentas. Setamat SMA, saya belum juga serius mendalang. Lalu ada tukang topeng, I Gusti Ketut Putra yang mengajak saya untuk gabung dengan sekaa topengnya. Sampai sekarang pun saya masih punya topeng satu set. Kalau ada yang minta menari topeng Sidakarya, saya ladeni. Kalau di luar desa saya tidak mau, karena saya eksis di pedalangan. Bagaimana pengalaman Anda nonton wayang waktu anak-anak? Sejak kecil saya senang sekali melihat dalang memainkan wayang. Saya enggak senang melihat bayangannya dari depan, tetapi saya suka lihat dari belakang. Di samping itu, ketika dalang itu datang, ia sangat dihormati sekali. Melihat itu saya kagum, "Wah enak sekali jadi dalang, saya ingin seperti itu." Waktu saya kecil kesenian wayang ini sangat favorit. Di desa saya ada wayang Pan Yusa yang sering ditanggap, setiap pementasannya saya menonton. Anda ingin mengembangkan wayang seperti apa? Saya ingin suatu saat wayang Bali menjadi hiburan yang favorit seperti konser-konser musik pop Bali sekarang. Makanya, saya terus melakukan pembenahan baik di bidang manajemen, dengan sanggar, dalam cerita, wacana, teknik-teknik mendalang terus saya asah. Saya berharap, dalang-dalang yang lain juga melakukan hal itu. Jadi terus mengasah diri agar wayang menjadi hiburan yang favorit. Saya memang belum berkolaborasi dengan penyanyi pop Bali, walaupun seperti di Jawa ada yang namanya wayang campur sari. Kita tetap pada inti wayang kulit, namun kita tetap menyelidiki, apa yang disenangi masyarakat, apa yang harus dibenahi dengan tidak menghilangkan akar-akar tradisi. Menurut Anda, pakem wayang itu apa? Misalnya pakem Sukawati, sebelum ada pakem itu apakah sebelumnya tidak ada pakem wayang sebelumnya? Bentuknya lain, masyarakat tidak puas, lalu dikembangkan lagi seperti yang kita temukan di Buduk. Seniman tidak puas, ia kembangkan lagi, ia ingin punya ciri tersendiri. Jadi kita keluar dari pakem yang mana? Saya juga punya pakem. Pakem di Buleleng beda dengan Gianyar, juga beda dengan Buduk. Saya buat pakem sendiri, syukur kalau ditiru orang lain. Sekarang saya lihat di kelir-kelir itu sudah banyak diisi tulisan. Gambar kayak Cenk Blonk sudah banyak sekali ditiru, lalu muncul dengan nama Co Blank, Ce Klin. Kita mendalang bukan menantang hal itu, yang penting mendalang, itu saja! Ritual yang dilakukan apa? Dalam pedalangan ada kitab Dharma Pewayangan untuk aturan dalang. Dalang juga memiliki pantangan, misalnya jangan makan jejeron. Dari segi medis, jejeron itu panas, karena kita duduk. Kalau dari segi ilmu pewayangan, jejeron merupakan tempat-tempat wayang itu berada di dalam diri kita. Untuk protein saya mengkonsumsi kacang, tahu, dan tempe. Saya suka jalan-jalan supaya keluar keringat. Yang pasti pikiran jangan stres sebab penyakit berasal dari pikiran. * Pewawancara: Asti Musman |