Bali Article |
|
Bali Hotels Area |
|
Bali Article |
.
|
Bali Article |
|
Bali Article |
|
|
Welcome to Bali Article |
Nyepi |
Kamis, 25 September 2008 |
|
| Om Awighnam Astu Namo Sidham Om Swastyastu. Menyambut hari Raya Nyepi tahun ini, kita harus menyadari betapa pentingnya memperhatikan secara lebih mendalam sistem "Saka Bali" yang menggabungkan tiga sistem kalender yaitu sistem tahun Surya, tahun Candra dan tahun Wuku. Tahun Surya berpedoman pada peredaran Bumi mengitari Matahari yang disebut satu tahun Surya, umurnya 265,22 hari tepatnya 365 hari 5 jam 48 menit 46 detik. Tahun Candra berpedoman pada peredaran Bulan mengelilingi Bumi yang disebut satu bulan, umur satu bulannya 354 hari 8 jam 45 menit 36 detik, disebut tahun Candra dan tahun Wuku dalam satu lingkarannya berjumlah 210 hari. Rumusan penentuan Purnama - Tilem dikenal dengan istilah Pangalantaka atau pengalihan Purnama-Tilem, ditentukan berdasarkan ketiga tahun tersebut, penentuannya ditata dalam rumusan tahun Wuku. Bertepata dengan Tilem Caitra atau sehari sebelum Hari Raya Nyepi, umat Hindu melaksanakan Bhuta Yadnya sesuai dengan tingkatannya di masing-masing rumah tangga, catus pata desa, sampai pada tempat Madyanikang Bhuwana. Dalam konteks Bali tempat tersebut adalah Bancingah Pura Agung Besakih di Kaki Gunung Agung. Di tempat ini setiap Tilem Caitra (setahun sekali) digelar Tawur Tabuh Gentuh. Setelah melaksanakan Bhuta Yadnya Umat Hindu memasuki Hari Raya Nyepi yang ditandai antara lain dengan Amati Agni (tidak menyalakan api sehari penuh), keesokan harinya adalah Ngembak Agni (menghidupkan api kembali). Kedua istilah ini patut dimaknai dengan benar sesuai dengan ajaran agama. Demikian pula halnya dengan isitilah Nyepi yang dalam teks agama disebut Sunya patut mendapat pemahaman yang mendalam. Pada Tanggal 21 Maret untuk tahun biasa, 22 Maret tahun Kabisat (habis dibagi empat) matahari tepat berada diatas garis khatulistiwa-garis tengah bumi atau saat ini sumbu bumi membuat sudut 90 derajat terhadap poros bumi-matahari, sehingg kutub utara dan kutub selatan terletak sama jauh dengan matahari. Tanggal 22 Maret 0079 ditetapkan oleh Raja Kaniskha sebagai Tahun Baru Saka, atau tanggal 1 bulan 1, tahun 1 Saka. Sehari sebelumnya yaitu pada tanggal 21 Maret 0079 terjadi peristiwa alam yang sangat penting; Gerhana Matahari Total. Kita ketahui bahwa pada saat Gerhana baik Gerhana Matahari (Surya Graha) maupun Gerhana Bulan (Candra Graha), matahari, bulan dan bumi berada dalam satu garis lurus. Jadi perhitungan penetapan Tahun Baru Saka sangat memperhatikan posisi bumi, bulan dan matahari. Makna yang dikandung dari penentuan sistem ini adalah bahwa umat Hindu sangat memperhatikan benda-benda bersinar di langit, dengan senantiasa mengembangkan wawasan kesemestaan / kesejagatan (Brahmanda). Secara langsung kita rasakan betapa pengaruh benda-benda tersebut pada kehidupan manusia di bumi. Secara Spiritual menunjukkan bahwa Agama Hindu mempunyai orientasi pada "Sinar" (divine) sehingga muncullah kata Dewa (dari Div yang berarti bersinar) yang memiliki hakikat "cahaya suci" Tuhan Yang Maha Kuasa. Secara etis manusia Hindu ingin melenyapkan sifat-sifat kegelapan atau keraksasaan dalam dirinya dan memupuk terus sifat-sifat kedewaan. Inilah landasan yang sangat esensial bagi pembangunan manusia dan peradaban Hindu. Oleh karena itu pula Surya dijadikan simbol sesuatu yang abadi, Maha Cahaya, lalu dijadikan Sthana Tuhan Yang Maha Kuasa, di Bali disebut Hyang Siwa Aditya. Hyang Siwa Aditya muncul karena kemanunggalan antara Siwa dan Aditya, dan hal ini menemukan konteksnya yang paling tepat pada saat Nyepi. Hyang Siwa sebagai disuratkan oleh Mpu Tantular dalam kakawin Sutasoma ; "rwaneka dhatu winuwas wara Bhudha Wiswa" (dua jalan kebenaran disebut jalan Bhudha dan Siwa yang utama). Jadi pelaksanaan upacara pada saat Tilem berhubungan dengan tujuan untuk memuja Hyang Siwa, beliau juga disebut sebagai Bhutapati atau Bhuteswara. Upacara yang sangat penting diadakan dalam rangka menyambut Hari Raya Nyepi adalah Bhuta Yadnya dan Upacara ini dilaksanakan pada Tilem Caitra, ketika Bumi, Bulan dan Matahri dalam satu garis lurus. Lima unsur Bhuta sebagai perwujudan dari Acetana mendapat perhatian penting dalam pemikiran Hindu. Bhuwana Agung (alam semesta) dan Bhuwana Alit (diri manusia) dibentuk oleh lima unsur yang disebut Panca Maha Bhuta, terdiri atas Pretiwi (tanah), Apah (air), Teja (api), Bayu (angin) dan Akasa (ether). Panca Maha Bhuta dibentuk oleh unsur-unsur yang sangat halus yaitu Panca Tan Matra, terdiri atas Gandha (bau), Rasa (rasa), Sparsa (sinar), Rupa (rupa) dan Sabda (suara). Semua unsur tersebut berstruktur, bersistem dan harmoni. Namun dalam perjalanan waktu, termasuk karena tindakan dan perbuatan manusia, unsur-unsur tersebut boleh jadi menjadi disharmoni. Oleh karena itu dalam setiap kurun waktu tertentu diadakan upacara mengharmoniskan unsur-unsur yang membangun alam semesta dengan Upacara Bhuta Yadnya. Harapan yang ingin dicapai adalah Bhuta-hita atau Jagat-hita, Sarwa Prani-hita keharmonisan yang akan memberikan kerahayuan hidup bagi manusia dan makhluk lainnya. Setelah melaksanakan Bhuta Yadnya pada Tilem Caitra, umat Hindu selanjutnya melaksanakan Brata Penyepian, yaitu melaksanakan ajaran agamanya yang terpenting ; Tapa, Brata, Yoga dan Samadhi. Pada saat Nyepi umat Hindu berharap dapat memasuki alam Sunya, alam yang sempurna heneng (tenang) dan hening (jernih). Sesungguhnya perayaan Hari Raya Nyepi dengan segala prosesnya pada hakikatnya adalah pemujaan kepada Hyang Siwa. Bhuta Yadnya yang dilaksanakan pada Tilem Caitra ketika Bumi, Bulan dan Matahari dalam satu garis lurus (Wiswayana). Keesokan hari setelah Nyepi adalah Ngembak Agni, yang secara spiritual menghidupkan kembali Api Suci dalam diri untuk terus membakar kekotoran pikiran (mala) yang pada akhirnya diharapkan tercapainya kesucian pikiran (nirmala). Karena pada pikiran yang suci itulah diyakini Hyang Siwa bersthana. Om Nama Siwaya Om Santih, Santih, Santih Om. Ida Bagus Ketut Suryaputra, SE (DPK Jembrana) |
|
posted by Bali @ 21.29 |
|
|
|
|