Ade Kone Katuturan Satwa : ZAMAN sekarang agak sulit menceritakan dongeng tentang orang-orang miskin, misalnya peminta-minta. Dongeng selalu mengajak agar penyimak menaruh belas kasihan kepada mereka. Tetapi kenyataan menjadi lain. Orang miskin dulu adalah miskin lahiriah tetapi kaya rohaniah. Orang miskin sekarang benar-benar miskin. Bukan saja miskin lahiriah, juga miskin rohaniah. Perlu dicarikan dongeng-dongeng yang cocok untuk itu. ------------ Dongeng yang banyak diwariskan oleh orang tua kita, jelas-jelas memihak kepada orang miskin yang murni, artinya miskin lahiriah tetapi kaya rohaniah. Mereka adalah orang-orang yang tidak cukup makan, tidak punya tempat tinggal dan bahkan tidak punya sanak keluarga. Tetapi mereka tetap berbuat jujur, polos, rajin bekerja, patuh dan berbuat baik terhadap setiap orang. Kepada merekalah dongeng itu berpihak. Kalau demikian, perlukah orang berbuat pelit terhadap mereka? Apa pula ganjaran yang ditimpakan bagi orang-orang pelit? Ikutilah sebuah dongeng Norwegia yang sudah dikembangkan dan diolah menjadi kisah sebagai berikut. *** Tersebutlah seorang perempuan kaya. Ia selalu mengenakan topi merah di kepalanya. Perempuan itu punya perusahaan roti yang cukup laris. Rotinya enak dan digemari semua orang. Pantas ia menjadi kaya. Sebetulnya ada sebab lain yang menyebabkan ia cepat kaya, yakni sifat pelit yang berlebihan. Ia tidak suka kalau bahan-bahan rotinya terbuang. Semua harus menjadi uang. Ia juga tidak suka kalau sisa rotinya diambil oleh karyawan, apalagi menyumbangkannya kepada orang lain. Pada suatu hari seorang pengemis mampir ke perusahaan roti itu. Pengemis itu sangat dekil dan selalu meraba perutnya yang lapar. "Berilah hamba sedikit roti, Nyonya! Perut hamba sangat lapar," kata pengemis itu. "Enak benar kamu! Bermalas-malasan tetapi ingin makan enak!" bentak perempuan kaya itu. Keesokan harinya pengemis yang lapar itu datang lagi. "Berilah hamba sedikit roti, Nyonya! Perut hamba sangat lapar." "Enak benar kamu! Bermalas-malasan tetapi ingin makan enak!" jawab Nyonya itu lagi. "Hamba hanya minta remah-remahnya, Nyonya!" pinta pengemis itu. "Remah roti ini tidak dibuang, tetapi dijadikan uang, tahu!" bentak pengusaha kaya itu. Pengemis itu pergi. Di sepanjang jalan ia mengumpat. "Pelit benar kamu!" katanya, "Terkutuklah kamu menjadi burung pelatuk yang suka makan kulit kayu dan hanya minum air dari curah hujan!" Seketika itu pula perempuan pengusaha roti itu menjadi burung pelatuk. Ia bersayap dan berjambul merah. Ia terbang ke mana-mana, meninggalkan pabrik rotinya. Perutnya sangat lapar, tetapi ia tidak tahu apa yang mesti dimakan. Ketika mencari makan di cerobong pabrik, sayapnya kena semprot kepulan asap hitam. Bulu-bulu sayap itu berubah menjadi hitam. Makin hari ia bertambah lapar dan haus. Ia belum juga mendapatkan makanan dan air. Meminta-minta kepada hewan lain, tentu ia malu. Terpaksalah ia hanya makan kulit kayu. Dan untuk melepaskan dahaga, ia hanya tergantung kepada curah hujan. "Betapa susahnya burung pelatuk itu!" kata seekor tupai yang melihat burung pelatuk itu mematuk-matuk kulit kayu. "Itulah kutukan bagi orang kaya yang pelit," sahut burung kepodang yang sedang mengeram telur di sarangnya. *** Perempuan pengusaha roti itu, kaya lahiriah tetapi miskin rohaniah. Sama dengan Men Sugih dalam dongeng Bali. Sifat pelitnya dibarengi dengan sifat serakah, tidak suka menolong, dan suka mencemooh orang miskin. Sebetulnya pengusaha roti yang pelit itu tidak lebih daripada seekor burung pelatuk. Kelihatannya saja kaya, tetapi rohaninya sangat miskin. Makanannya bukan roti tetapi kulit kayu, minumannya bukan susu tetapi curah hujan. Demikian pula Men Sugih. Perempuan yang tinggal di rumah mewah dan makan berlebihan itu, tidak lebih daripada seorang perempuan yang terjebak di semak-semak berduri. Perempuan pelit yang tidak suka menolong itu pada akhirnya membutuhkan pertolongan orang lain. |