Bhatara Kala, Batara Kala Penyucian sebagai salah satu jalan bersahabat dengan Kala, ditegaskan dalam kitab Sarasamusccaya. Sepanjang satu bab kitab ini mengulas masalah Kala. Disebutkan: Yapwan hana sira samitra lawan sang hyang mrtyu, tan kena ring tuha pati, kunang sira yogyan umiyataken mne helem (365). Ditegaskan bahwa orang hendaknya bersahabat dengan Kala.
Agar bisa bersahabat dengan Kala, selanjutnya Sarasamusccaya menyebutkan dharma sebagai sarananya (375). Yang dimaksudkan dengan dharma adalah punyakarma yang intinya adalah pahehening ikang buddhi (390).
Hening itu kesucian. Yang diheningkan adalah cita (intelek), ahangkara (ego) dan manah (pikiran). Dengan sucinya pikiran, maka kelima indriya juga akan disucikan, karena pikiran itulah rajanya indriya. Begitulah teorinya.
Dalam hubungan dengan dharma sebagai sarana, penting diperhatikan kitab Santhiparwa. Pada bagian Mahabharata ini dikisahkan Dharmawangsa mengalami kesedihan luar biasa justru setelah memenangkan peperangan.
Ia seperti kehilangan cita-cita. Kehilangan dirinya. Keputusannya hampir menyebabkan ia meninggalkan dunia dan menjadi pertama di hutan. Kesedihan yang teramat sangat itu akhirnya terobati dengan penjelasan tentang Waktu yang diberikan oleh ribuan orang bijaksana yang melingkarinya.
Dari berbagai argumentasi yang pelik di antara mereka, Santhiparwa mengajarkan bahwa pemahaman atas Waktu sangat penting karena jangka waktu kehidupan dapat diulur lebih panjang. Swadharma menjadi kata kunci untuk bersahabat dengan Waktu. Dharmawangsa sendiri akhirnya kembali pada swadharma-nya sebagai raja.
Mengapakah penjelasan tentang Waktu ditempatkan pada Santhiparwa? Nampaknya ada hubungan langsung antara Waktu dengan rasa damai yaitu santhi itu sendiri. Hati yang damai didapat oleh orang yang menjinakkan Waktu dengan melaksanakan swadharma.
Barangkali itu tafsirnya. Adakah ketidakdamaian dalam masyarakat Bali saat ini karena orang Bali tidak melakukan swadharma-nya? Swadharma adalah kewajiban sesuai dengan fungsi dan kedudukan berdasarkan kualitas diri.
Demikian, kesucian sebagai jalan menjinakkan Waktu. Selain kesucian, masih ada jalan lain yang ditawarkan. Jalan itu adalah Pasupata dan Bhairawa. Munculnya kedua jalan ini dapat dijelaskan seperti berikut ini.
Prajapati-Brahma digambarkan berkepala empat. Masing-masing menghadap ke empat penjuru mata angin: timur, selatan, barat, utara. Menurut mitologi ternyata masih ada satu lagi kepala Brahma.
Kepala yang kelima itu menyerupai kepala Siwa, yaitu Isana (sebutan Siwa sebagai mantramurti). Isana disebutkan sebagai kepala Siwa yang tidak kelihatan. Kepala itu ada pada level transendental. Karena kepala itu ada di tengah-tengah, ia disebut sebagai poros penggerak Waktu. Tali ia ada di luar waktu.
Kelima kepala Brahma itu adalah: Sa Ba Ta A I (Sadyojata, Bamadewa, Tatpurusa, Aghora, Isana). Kelima itulah yang disebut Panca Brahma.
Bahwa Isana ada di luar Waktu dapat dipahami seperti yang dijelaskan dalam Ganapati Tattwa (Sudarshana Devi(ed.), 1958:153-154). Dalam proses penciptaan (utpati), Isana ada terdepan dalam urutan Panca Brahma: I Ba Sa Ta A. Sedangkan dalam proses peleburan (pralina) Isana ada pada urutan terakhir: A Ta Sa Ba I. Awal dan akhir ada di luar Waktu.
Konon menurut mitologi, Siwa kemudian memotong kepala Brahma yang kelima itu, dan Siwa tetap memegang kepala itu. Selanjutnya ada dua versi cerita tentang kepala Brahma yang telah terpotong. Pertama, dengan energi yang masih ada di dalam kepala itu, ia kemudian menjadi senjata Pasupata, senjata yang diberikan oleh Siwa kepada Arjuna. Konon senjata itu bisa digerakkan dengan busur, dengan kata, dengan mata, dan dengan pikiran. Senjata itu disebutkan tiada lain pasupata brata itu sendiri, suatu brata yang dengan itu sendiri sudah bisa membebaskan orang dari lingkaran hidup (Kramrisch, 1988: 259-265). Nampaknya cerita ini dapat memberikan kejelasan, mengapa dalam Kakimpoi Arjuna Wiwaha (XII, 1-2) setelah Siwa menyerahkan senjata Pasupati kepada Arjuna, muncullah api dari tangan Siwa (mijil tang apuy ri tangan). Api itu barangkali bisa dihubungkan dengan energi kepala Brahma, asal adanya Waktu.
Versi kedua, Siwa mengirim Kala Bhairawa untuk memotong kepala Brahma yang kelima itu. Selanjutnya kepala itu terus ada di tangan kiri Bahirawa dan dipergunakan sebagai mangkok mengemis oleh pengikut Bhairawa. Bagaimanakah caranya memahami mitologi itu? Dengan menjadi Bhairawa orang bisa menghentikan Waktu dengan cara memotong porosnya. Atau, dengan memegang yang ada di luar waktu, yaitu kepala Brahma, maka Waktu bisa dihentikan. Atau, proses menjadi Bhairawa harus dilewati agar sampai pada Siwa.
Tafsir pertama dan kedua ditunjukkan dengan jelas dalam Kakimpoi Sutasoma, sebuah karya yang menempatkan Kala sebagai antagonis. Diceritakan Purusada hendak mempersembahkan seratus kepala raja kepada Kala. Walau angka seratus telah tercapai, Kala belum puas. Ia menginginkan kepala Sutasoma. Sutasoma bersedia dijadikan persembahan kepala Kala, walau Porusada karena simpati akhirnya hendak membatalkan niatnya mempersembahkan Sutasoma. Tapi Sutasoma tetap hendak mempersembahkan dirinya kepada Kala. Dalam pertemuan Sutasoma dengan Kala, akhirnya Kala justru menyembah Sutasoma. Sembah itu sendiri tidak diharapkan oleh Sutasoma. Dalam sastra Kawi, Bhairawa dihubungkan dengan bulan (candra, soma), yang nampak dalam sebutan Candra Bhairawa. Sutasoma berarti anak (suta) bulan (soma). Tidak heran bila Sutasoma sampai disembah oleh Kala. Selain itu, dalam pengembaraannya terdahulu Sutasoma telah menemukan Bhairawa. Menemukan artinya mengetahui. Mengetahui artinya menjadi, atau mengidentifikasikan diri dengan yang diketahui, yaitu Bhairawa. Pesan Sutasoma kepada seratus raja yang akhirnya dibebaskan dari cengkraman Kala, ''Jangan melawan Mrtyuninjaya atau Jayantaka.'' Makna pesan tersebut menjadi sangat jelas, karena Sutasoma sendiri tidak melawan. Ia bersenjatakan keikhlasan. Inilah keikhlasan yang benar, karena didasari kekuatan. Bukan ikhlas karena lemah. Tentang ajaran Bhairawa dalam Sastra Kawi menarik untuk diteliti secara mengkhusus, karena ada bermacam-macam: Kala Bhairawa, Candra Bhairawa, Bajra Bhairawa, Bima Bhairawa.
Kisah persahabatan manusia dengan Kala dapat pula ditemukan dalam teks lainnya. Dalam Uttara Kanda, Sang Hyang Kala datang menemui Rama. Percakapan keduanya amat rahasia, dan tidak boleh didengar oleh orang lain. Bahkan dilakukan dengan berbisik-bisik. Isi percakapan itu, sudah tiba waktunya bagi Rama untuk meninggal(kan) dunia. Segera setelah percakapan itu, Rama meletakkan jabatan raja dan mempersiapkan diri untuk mati. Sedangkan seorang Rsi yang telah melakukan tapa sangat panjang ternyata berhasil menembus rahasia percakapan itu. Sebelum mati Rama memberikan makanan panglebar brata kepada Rsi Durwasa.
Kitab Uttara Kanda itu menunjukkan bahwa manusia bisa bersahabat dengan Kala. Ia yang bersahabat dengan Kala akan mengetahui hari kematiannya. Bukan hanya itu. Orang pun bisa melakukan tawar menawar dengan Kala. Sehingga tercegahlah adanya kematian yang premature.
|