-->
 

Bali Artilce

 

Bali Article
Bali Hotels Area
Bali Article
.
Bali Article
Bali Article
Welcome to Bali Article
Manawa Dharmashastra
Senin, 22 September 2008



Manawa Dharmashastra BEBERAPA KENDALA YANG DIHADAPI UMAT AWAM

Kesibukan masing-masing telah menyita terlampau banyak waktu kita. Apakah kita seorang bujangan (Brahmacarin) yang sedang menuntut ilmu, apalagi hidup sebagai perumah-tangga (Grehastin) yang mulai menerapkan pengetahuan, teknologi, keakhlian dan keterampilan dalam menafkahi keluarga; waktu yang 24 jam dalam sehari serasa masih kurang cukup bagi kita.

Kalaupun kita punya cukup minat untuk lebih mengakrabi kitab-kitab suci, waktu sisa mungkin sekali telah diblokir oleh anak-anak (bagi yang telah dikaruniai anak), atau bersosialisasi betapa layaknya anggota masyarakat. Mereka yang hidup di kota-kota besar memiliki waktu senggang relatif lebih sempit dibandingkan dengan mereka yang hidup di pedesaan atau diluar kota. Al hasil terlampau sedikit waktu luang bagi keluarga masing-masing, apalagi untuk membaca-baca kitab suci atau Veda-veda. Sedangkan yang hidup di pedesaan atau diluar kota, disamping lebih sulit untuk memperolehnya, juga daya belinya rendah. Ada yang lebih urgen bagi mereka untuk lebih diutamakan.

Perihal waktu dan pemanfaatannya oleh manusia Bhagawan Wararuci, dalam Sarasamuschaya, pernah mengingatkan umat manusia: "Memang benar Sang Waktu tidak dapat diperkirakan batas akhirnya, beratus-ratus tahun dan bahkan tak terbatas; sedangkan kesempatan untuk berbuat dalam hidup ini sangatlah terbatas adanya pun sangat tergesa-gesa jalannya. Oleh karena itu mengapa terlena? Sementara masih hidup, pergunakanlah kehidupan ini sebaik-baiknya dengan mengabdikannya demi menegakkan Dharma. Sesungguhnya, sangatlah pendek jangka kehidupan manusia. Jangka kehidupan yang sudah pendek inipun mesti dibagi-bagi lagi oleh malam atau waktu untuk tidur, oleh desakan kantuk. Hanya sebahagian yang tinggal. Sisanya, diambil lagi oleh waktu ketika sakit, saad sedih atau berkabung, saat usia lanjut serta berbagai halangan-halangan lainnya, sehingga menjadi sedemikian singkatnya masa hidup manusia yang tersisa guna ber-dharmabhakti." Tentu kesempatan yang sedemikian singkat ini tak hendak kita sia-siakan begitu saja bukan? Sementara itu, ada seorang Yogi yang mengatakan bahwa: "Menekuni Dharma dalam waktu 15 tahun, belum berarti apa-apa bagi pemahaman".

Bagi yang punya waktu dan mulai ada minat, masalah lain yang menghambat adalah 'harganya' di pasaran. Terjemahan dan komentar Manawa Dharmashastra atau Catur Veda yang sedemikian tebalnya, tentu diproduksi dengan biaya yang cukup besar. Biaya penyelenggaraan, ongkos distribusi serta jasa-jasa yang dikenakan, menaikkan harga jualnya di pasaran. Bagi mereka yang belum termotivasi dengan baik, bisa jadi mengurungkan niatnya untuk membeli dan berpikir "Ah....nanti saja belakangan, toh buku setebal itu tak terbaca dalam sebulan atau dua bulan."

'Sistem perwakilan', yang hingga kini diterapkan didalam praktek kultural-religius, merupakan faktor penting dalam membatasi minat dan motivasi umat untuk tahu lebih banyak dan lebih dalam tentang ajaran yang dianutnya. Sistem ini, menumpukan hampir semuanya kepada para Sulinggih. Umat menyerahkan bulat-bulat segala sesuatunya kepada para Sulinggihnya. Sistem perwakilan ini memberi lahan subur bagi tumbuhnya 'kemanjaan' beragama, bagi umat awam. Konsekwensi logisnya adalah, terjadinya kesenjangan pemahaman yang semakin melebar, antara para Sulinggih dengan umat awam.

Bila kita tilik lebih jauh lagi, ternyata sistem Warna (bukan kasta) dalam masyarakat Hindu juga memberi andil besar dalam masalah ini. Bukan sistem Warna-nya yang buruk; akan tetapi implikasi berupa kecenderungan untuk lebih 'mengutamakan hak' dengan mengesampingkan kewajiban dari masing-masing Warna, telah mengantarkan 'kemanjaan' beragama menemukan lahan suburnya. Semuanya diserahkan kepada para Sulinggihnya, sementara 'kewajiban'-nya terhadap para Sulinggih dan diri sendiri terabaikan. Kewajiban terhadap diri sendiri yang dimaksudkan adalah peningkatan pemahaman atas ajaran yang yang dianut.

Pada sisi lain, konsep Catur Asrama - Brahmacari, Grehasta, Wanaprashta dan Sanyasa - teramat jarang secara lengkap dijalani. Usia, yang tak dapat kita tentukan, merupakan alasan utama untuk hanya mengikuti 2 jenjang pertama saja. Jenjang selanjutnya - Wanaprashta dan Sanyasa - seakan-akan bukan menjadi kewajiban semua umat. Fenomena ini juga berkaitan erat dengan sistem Warna, yang diterjemahkan secara keliru; maksudnya, sebahagian besar umat menganggap atau menyangka bahwa hanya 'keturunan' Brahmana saja yang wajib untuk melanjutkan ke jenjang Wanaprashta dan Sanyasa. Anggapan dan prasangka ini muncul dari kekurang-pahaman terhadap ajaran yang dimaksud; jadi paradigmanya bak lingkaran setan, yang tiada ujung pangkalnya.

Demikianlah beberapa kendala pokok, yang teramati secara terbatas, bagi sebahagian besar umat, yang pada akhirnya, meniadakan kesempatan untuk mempelajari dengan lebih baik kitab-kitab suci serta ajaran-ajaran yang dianutnya.

Manawa Dharmashastra adalah salah satu Veda Smrti yang paling populer dan banyak diacu, disamping Sarasamuschaya dan yang lainnya. Bapak G. Puja M.A; SH. - salah seorang indoolog yang disegani di Indonesia melalui banyak karya-tulisnya dan mantan Dirjen. Bimas Hindu dan Buddha Departemen Agama R.I selama belasan tahun - sempat menyampaikan pendapat beliau dengan kurang lebih mengatakan: 'Kita baru akan dapat mengamalkan ajaran agama bila kita benar-benar mengerti dan memahaminya'. Apa yang akan kita amalkan sementara tiada mengetahui apalagi mengerti? Berikut ini dicoba mengetengahkan sajian yang memaparkan tentang kitab hukum Hindu ini, untuk lebih mendekatkannya dengan kita. Ada pepatah yang mengatakan "Tak kenal, maka tak sayang"; nah...antara lain berpijak pada pepatah dan alasan mendasar itulah disajikan tulisan ini.

Ada yang mengatakan bahwa: "Perbuatan baik tiada perlu alasan ataupun dalih; perbuatan buruklah yang memerlukannya." Umat Hindu mengenal Dharma sebagai Hukum, disamping sebagai Ajaran Suci. Umat Buddha, dari sekte apapun, mengikrarkan Dharma sebagai salah-satu perlindungan (saranam).

Bagi umat Hindu, Dharma sebagai hukum atau tata kehidupan yang patut dianutnya dalam pola-pikir, pola-ucap maupun pola-laku, telah tertuang dalam kelompok kitab-kitab suci maupun pustaka-pustaka suci yang disebut kelompok 'Dharmashastra'. Diantara kelompoknya, tersebutlah Kitab Hukum Manu sebagai yang tertua, terlengkap serta paling banyak diacu oleh manusia Hindu sepanjang masa; ia kita kenal dengan sebutan Manusmrti atau Manawa Dharmashastra.

*Apakah Kitab Suci Manawa Dharmashastra itu?

Manawa Dharmashastra adalah satu kitab hukum Hindu yang paling populer dan (masih) paling banyak diacu oleh umat, disamping kitab-kitab Smrti lainnya. Smrti merupakan kelompok kedua secara hierarkis sesudah kelompok Sruti (kelompok kitab-kitab Wahyu), yang dipandang sebagai kitab hukum Hindu karena didalamnya banyak memuat syariat (dalam bahasa Arab) Hindu yang disebut Dharma. Karena itu, kitab Smrti juga disebut sebagai Dharmashastra. Dalam hal ini, Dharma berarti hukum dan Shastra berarti ilmu.

Ia diajarkan oleh Manu, yang kemudian dikompilasikan oleh Maharshi Brghu. Inilah kitab hukum pertama dalam Hindu. Menurut mithologinya, Manu mendiktekan hukumnya ini dalam seratus ribu sloka kepada Maharshi Brghu, yang pada gilirannya mengajarkan kepada Rshi Narada. Narada, berdasarkan pertimbangannya mengurangi aturan itu menjadi dua belas ribu sloka. Kitab hukum ini kemudian dikurangi lagi menjadi delapan ribu sloka oleh Rshi Markandeya. Percaya atau tidak, Rshi yang lain, Sumanthu, menguranginya lagi menjadi empat ribu sloka. Akhirnya, Rshi lain yang tidak dikenal, mengurangi lagi menjadi 2.685 sloka.

Manawa Dharmashastra, seperti yang dikenal sekarang ini, terdiri dari 12 Adhyaya (bab atau buku) yang memuat 18 aspek hukum atau Wyawahara yang dapat dikategorikan dalam bentuk hukum perdata agama, pidana serta peraturan-peraturan yang bersifat mengatur kehidupan sosial kemasyarakatan secara umum. Jadi ia merupakan kitab hukum Hindu dengan cakupan bahasan yang amat lengkap, luas dan ber-relevansi keluar maupun kedalam.

*Siapakah Manu itu?

Sangat sedikit yang diketahui mengenai Manu. Beliau dipandang sebagai Avatara. Dalam mithologi, dia dikenal sebagai Manu Svayambhuva. Oleh karenanya, aturan-aturan dan ketentuan-ketentuan hukum yang diajarkan oleh Manu juga dikenal sebagai Manusmriti atau Manu-Shamhita. Kata Manawa sendiri diambil dari Manu.

Nama Manu berarti Kepala Keluarga Penguasa Bumi (Patriachal Earth Ruler). Manu datang dan pergi pada setiap awal penciptaan alam semesta, dalam waktu yang tak terbatas. Masing-masing Manu hidup untuk jangka waktu yang disebut Manvantara (periode Manu). Menurut salah-satu kisah mithologis, satu Kalpa (8.640.000.000 tahun manusia) terdiri dari empat belas Manu atau Para Manu. Ke-empat belas Manu tersebut adalah:

1. Svayambhuva (Manu Pemberi Hukum, law-giver);
2. Svarochisha;
3. Uttama;
4. Tamasa;
5. Raivata;
6. Chakshusa;
7. Vaivasvata (Noahnya Hindu, Manu dewasa ini) ;
8. Savarna (akan datang);
9. Daksha Savarna;
10. Brahma-Savarna;
11. Dharma Savarna;
12. Rudra-Savarna;
13. Rauchya;
14. Bhautya.

Vaivasvata Manu, Manu di jaman kita ini, ada yang menganggap hidup pada sekitar 3100 SM. Namun sekali lagi, itu adalah anggapan sementara yang tiada dapat kita pegang sebagai suatu kepastian bila dikaitkan dengan kapan Manawa Dharmashastra mula pertama diwahyukan. Semua para Manu ini datang dan pergi dalam siklus yang tak berakhir. Oleh karenanya, ada peneliti Hindu yang beranggapan bahwa Manu bukanlah nama orang suci tertentu, namun lebih merupakan suatu titel, nama dinasti atau nama keturunan. Kita percaya bahwa semua manusia adalah keturunan Manu. Kata 'manusia' sendiri juga berasal dari kata 'manu', yang berarti keturunan Manu.

*Kapan ia diturunkan oleh Manu dan dikodifikasikan oleh Maharshi Brghu?

Seperti juga masa hidupnya Manu, ajaran beliaupun tiada diketahui dengan pasti kapan diturunkan. Satu petunjuk yang dapat kita ketahui dari kitab-kitab suci Hindu, hanyalah menyatakan bahwa Manusmrti diperuntukkan bagi manusia di Krta Yuga, walaupun faktanya Smrti yang hadir belakangan dalam pokok-pokok ajarannya masih tetap mengacu dalam banyak aspek kepadanya. Mempertanyakan, kapan Manu pertama yang menerima wahyu Tuhan hidup, tak ubahnya mempertanyakan kapan mulainya keberadaan umat manusia di muka bumi ini.

*Bagaimana posisinya diantara Veda-veda?

Menurut sumbernya, ada yang mengelompokkan kitab-kitab suci Hindu hanya dalam dua kelompok besar, yakni: Sruti, kitab-kitab suci yang merupakan penulisan wahyu yang bersumber langsung pada sabda-sabda Tuhan sendiri; dan Smrti yang tidak bersumber pada wahyu, akan tetapi petunjuk para Maharshi yang terpercaya kesucian batinnya. Sebagaimana Smrti, Manawa Dharmashastra bersifat suplemen atau pelengkap dari kitab Sruti, yang merumuskan secara mudah dan sistematis apa-apa yang telah diutarakan di dalam Sruti. Jadi, ia semacam kitab penjelasan ulang dalam versi atau bentuk sajian serta substansi yang berbeda dengan Sruti.

Walaupun demikian, ia tetap memiliki hierarki dalam otoritasnya diantara Veda-veda, lebih rendah dari kitab-kitab Sruti. Artinya, bila ternyata terjadi pertentangan isi atau pemaknaannya dengan Sruti (yang bersifat universal), maka Sruti-lah yang dimenangkan.

Oleh karenanyalah, sebagai umat, kita diwajibkan untuk bersikap kritis --dalam arti waspada-- didalam mengimplementasikan aturan-aturan pelaksanaannya, agar tidak sampai menyimpang dari Sruti itu sendiri. Guna kepentingan ini, pengetahuan dan pemahaman akan Sruti menjadi semakin perlu.

Dalam penerapannya sebagai hukum Hindu, secara hierarkis Smrti langsung dibawah Sruti dengan urutan selengkapnya: Sruti - Smrti - Sila - Sadacara - Atmastuti; ini akan kita bicarakan secara lebih rinci pada pembahasan isinya.

*Adakah kitab Smrti lain kecuali Manawa Dharmashastra?

Kitab Dharmashastra itu banyak. Penulisnyapun banyak pula; untuk disebutkan diantaranya adalah: Baudhayana, Harita, Apastambha, Wasistha, Sankha-likhita, Usana, Kasyapa, Yajnawalkya, Gautama (bukan Siddhartha Gautama) dan Brhaspati. Penamaan kitab-kitab Smrti, umumnya mengambil nama penulisnya, seperti: Gautamasmrti, ditulis oleh Rshi Gautama dll. Salah-satu yang paling populer dan paling banyak diacu di Indonesia adalah Sarasamuschaya, gubahan Bhagawan Wararuci. Mengenai Sarasamuschaya, para indolog masih berbeda pendapat tentang kapan digubah dan siapa sebetulnya orang suci ini. Apakah beliau orang suci Nusantara ataukah India. Dari beberapa pandangan yang dikemukakan tentang siapa beliau, tampak bahwa beliau sebagai orang suci yang juga fasih menggunakan bahasa Sanskerta, disamping bahasa Kawi atau Jawa Kuno, dua bahasa yang digunakan didalam naskahnya.

Ruang lingkup Dharmashastra mencakup nyaris seluruh aspek kehidupan duniawi umat Hindu, yang teramat luas, untuk dapat dipedomani dalam penerapan Veda secara benar. Terkait dengan hierarkinya terhadap Sruti, Gautama Dharmashastra sempat mengundang kontroversi meluas, tidak saja di kalangan umat Hindu, tetapi di kalangan bukan Hindu. Dalam kasus serupa inilah kita diwajibkan untuk bersikap waspada, kritis dan memiliki pemahaman yang cukup memadai akan ajaran yang tertuang dalam Sruti.

Manawa Dharmashastra memiliki dua belas Adhyaya (bab) dan ini menyentuh semua sisi kehidupan manusia, dari uraian tentang penciptaan semesta, kewajiban-kewajiban manusia, berbagai larangan serta sangsi bagi pelanggarnya, pelaksanaan upacara korban suci dan pensucian diri lahir-batin, hingga masalah upaya penghubungan Atman dengan Brahman. Secara ringkas, isi yang terkandung dalam kedua-belas Adhyaya diuraikan berikut ini.

Adhyaya I; ajaran yang terkandung banyak persamaannya dengan berbagai kitab Itihasa dan Purana lainnya. Ia terdiri dari 119 pasal yang memuat dua hal pokok yakni: prihal teori penciptaan alam semesta dan hal-hal yang terkait berkenaan dengan bab-bab selanjutnya. Jadi, bab ini dapat dipandang sebagai sinopsis dari bab-bab selanjutnya.

Beberapa hal pokok yang perlu diperhatikan dari bab ini adalah, bahwasanya:

- Seluruh semesta diciptakan dan dipelihara oleh suatu hukum yang disebut Rta atau Dharma.
- Ajaran-ajaran bersifat memaksa, anjuran dan larangan yang kesemuanya berakibat atau ada sangsinya.
- Setiap ajaran bersifat relatif dan absolut. Absolut dalam artian mengikat dan wajib, sedangkan relatif karena setiap jaman dan wilayah perkembangannya berbeda-beda. Hal ini secara jelas akan tampak bila dihubungkan dengan Adhyaya XI dan XII.

- Pengertian Warna merupakan penggolongan dalam pengertian fungsional. Atas ketentuan ini maka, peraturan-peraturan di luar golongan Brahmana, penafsirannya perlu disesuaikan secara fungsional.

Ajaran Manu ini bersifat mengikat bagi golongan Brahmana, karena peraturan ini diadakan khusus bagi Brahmana. (I:103)

Bahagian terakhir dari adhyaya I, hanya menegaskan beberapa bentuk hukum yang mungkin untuk mengelompokkan semua jenis pelanggaran. Semua peraturan tersebut didasarkan pada baik-buruknya perbuatan, yang kesemuanya bertujuan untuk mengajarkan manusia menuju pada kesempurnaan hidup dan kebaikan dalam masyarakat. Yang menarik dari bahagian akhir ini adalah, apa yang disebutkan dalam pasal 110: "Sesungguhnya pertapa yang mengetahui bahwa kebiasaan (drsta) didasarkan atas hukum suci, menetapkan bahwa perbuatan baik sebagai sumber yang terbaik dari semua tapa."

Adhyaya II; membahas prihal yang terkait dengan masa-masa awal dari kehidupan manusia Hindu. Ia dibentuk oleh 249 pasal yang dapat dibagi dalam empat bahagian pokok, yakni:

(i) Pertama, memuat ketentuan mengenai sumber-sumber hukum (dharma) yang harus diperhatikan didalam menilai berbagai persoalan. Sumber-sumber hukum dimaksud meliputi: Sruti - Smrti - Sila - Sadacara - Atmastuti, yang selanjutnya ditetapkan sebagai empat sumber hukum Hindu pertama. Hierarkisnya bersifat tetap, dimana Sruti sebagai hukum dasarnya. Bila tiada disebutkan dalam Sruti, barulah dicari dalam Smrti atau Dharmashastra. Bilamana tiada ditemukan dalam keduanya, barulah dilihat dalam ajaran Susila -- Yama-Niyama Brata dll.-- dan Sadacara --tradisi spiritual-religius yang telah diakui dan berurat berakar dalam masyarakat. Terakhir, Atmastuti yakni apa yang 'patut' atau 'layak', dengan tiada menodai nama baik, menyakiti atau melukai pihak lain.

(ii) Kedua, menyangkut pelaksanaan ritus-ritus berkenaan dengan pertumbuhan manusia sejak dalam kandungan, hingga diinisiasi sebagai Brahmacarin. Peraturan-peraturan terkait disebut dengan Sangaskara (Samskara). Sangaskara adalah sakramen yang bertujuan merobah status si anak menjadi Arya (orang baik yang berkebajikan tinggi). Ini merupakan dasar manusia Hindu yang harus dilakukan.

(iii) Ketiga, menyangkut usia ideal untuk melaksanakan Sangaskara sehingga layak mempelajari Veda mantra dan digolongkan Arya. Disebutkan bahwa usia ideal tersebut antara 4 tahun hingga 14 tahun. Bila diatas usia 14 tahun belum diadakan Sangaskara, si anak tak layak digolongan Arya dan pantang mengucapkan Gayatri Mantram. Bila usia 24 tahun terlampaui, seseorang telah terlambat untuk memulai guna dapat menguasai Veda dengan baik. Orang yang demikian disebut Wratya dan tidak sesuai lagi sebagai seorang Arya. Masa wajib belajar di pasraman guru ini ditutup dengan masa Samawartana atau pensuddhian, dan siswa diperbolehkan kembali kerumah masing-masing.

(iv) Ke-empat, secara khusus menitik-beratkan pada perjalanan akhir masa membujangnya, untuk memulai hidup berumah-tangga. Bagian ini membahas tentang berbagai jenis perkawinan (pawiwahan), hukum dan pelaksanaannya. Ketentuan-ketentuan lebih lanjut, dibahas pada bagian pertama Adhyaya III.

Satu sloka dalam bab ini, yang menarik untuk diketengahkan adalah sloka 233, yang menyebutkan: "Dengan menghormati ibunya, ia mencapai kebahagiaan di bumi ini; dengan menghormati ayahnya, ia menikmati alam pertengahan (madyama); akan tetapi dengan ketaatan terhadap Sang Guru, ia mencapai Brahma Loka."

Adhyaya III; bab yang terdiri dari 286 pasal ini, dapat dibagi menjadi tiga pokok bahasan.
(i) Bahagian pertama, merupakan ketentuan-ketentuan lanjutan dari hukum dan pelaksanaan perkawinan, bahagian yang mengundang berbagai perbedaan tafsir atau pandangan di kalangan cendekiawan Hindu. Bahagian inilah yang dianggap perlu untuk disesuaikan terhadap perkembangan jaman.

(ii) Bahagian kedua memuat kewajiban sehari-hari utama yang harus dilakukan oleh orang yang telah berumah-tangga. Kewajiban sehari-hari inilah yang disebut Panca Maha Yajna, yang dalam kitab ini hanya disinggung secara sumir saja.

(iii) Bahagian ketiga atau terakhir, menyangkut ajaran 'Sraddha'. Sraddha dalam hal ini sebagai kepercayaan dan tradisi untuk mengadakan upacara penghormatan kepada rokh-rokh leluhur (pitara). Seperti juga Panca Maha Yajna, Sraddha inipun mempunyai nilai mendidik guna membentuk kepribadian seseorang. Seperti halnya peraturan upacara sehari-hari pada bahagian sebelumnya, disinipun Manusmrti tidak menggariskan secara lebih mendalam.

Adhyaya IV; merupakan bab yang membahas masalah aspek hukum, apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Secara garis besar, adhyaya IV ini memuat tiga pokok persoalan yang dirumuskan kedalam 260 pasal, yakni:

- Mengenai peraturan tentang cara melakukan kehidupan yang layak sesuai Dharma, serta 20 jenis Neraka yang akan dialami oleh seseorang, bila tidak mematuhi ajaran kebajikan yang tertuang.

- Mengatur cara hidup bagi seorang yang telah mendalami Veda-veda (Snataka).
- Mengatur tentang tata cara mempelajari Veda.

Khusus dalam hal tata cara mempelajari Veda, diketengahkan empat peraturan yang meliputi ketentuan tentang:

~maksud daripada mempelajari Veda,
~saat-saat baik dan tidak baik untuk memulai belajar Veda,
~pantangan-pantangan yang harus diindahkan pada saat belajar Veda, serta
~peraturan atau tata cara yang harus dipatuhi pada waktu memulai belajar dan saat mengakhirinya.

Dari kandungannya, bab ini dapat dianggap sebagai bahagian dari Manusmrti yang secara khusus diperuntukkan bagi mereka yang berguru spiritual. Ia dibuka dengan pasal 1 yang berbunyi: "Setelah tinggal dengan seorang Guru selama seperempat bagian hidupnya, seorang Brahmana harus tinggal selama seperempat bagian berikutnya di rumah, setelah mengawini seorang istri."

Adhyaya V; terdiri dari 169 pasal yang menyangkut berbagai ketentuan hukum tentang:

- Jenis makanan yang dilarang.
- Mengenai tata cara pensucian semasa cuntaka (tidak suci) yang timbul karena kematian, kelahiran, haid dan lain-lain. Didalamnya dijelaskan tentang hal-hal yang dapat menyebabkan cuntaka, jangka ketidak-sucian, pantangan-pantangan bagi mereka yang dalam cuntaka serta cara-cara pensuciannya.

- Kedudukan dan sikap yang layak bagi wanita, baik sebagai anak, sebagai istri, sebagai ibu, sebagai janda dan lain-lain; disamping tingkah laku wanita yang ideal (dalam pasal 106 - 146).

- Sati atau 'mesatya', yang secara formal telah dihapus pelaksanaannya di seluruh dunia, oleh karena dianggap tidak sesuai lagi dengan perkembangan martabat manusia. Ketentuan yang tercantum dalam pasal 167 ini juga dianggap paling tidak memuaskan, menurut hukum modern.

- Menekankan agar umat Hindu tidak melalaikan pelaksanaan Panca Maha Yajna.

Terkait dengan penghapusan masalah Sati ini, kitab Manawa Dharmashastra yang diterjemahkan oleh bapak G. Pudja M.A; SH. dan Tjokorda Rai Sudharta M.A bahkan tidak menyertakan pasal 164 sampai dengan pasal 167 dari adhyaya V ini.

Adhyaya VI; pada bab inilah kita temui berbagai ketentuan, tata-tertib hidup sebagai Wanaprashtin yang harus dipenuhi, serta upacara-upacara religius yang mesti dilaksanakan di ashram (pesraman) masing-masing. Didalamnya juga diatur tentang makanan, cara melaksanakan tapa, cara berbusana dan usaha-usaha yang layak serta diperkenankan dalam menjalani jenjang kehidupan Wanaprashta. Dalam tingkat ini, Yoga dikembangkan hingga kesempurnaannya.

Pada bahagian akhir adhyaya, yang terdiri dari 97 pasal, ini pula diuraikan tentang ketentuan-ketentuan ketat, dengan berbagai pantangan, dalam menjalani kehidupan sebagai Sanyasin. Jenjang kehidupan terakhir ini, dirancang bagi umat Hindu yang sepenuhnya telah meninggalkan kehidupan duniawi, dan hanya mengupayakan ke-moksha-an. Guna memperoleh gambaran yang lebih baik, berikut dikutipkan terjemahan beberapa sloka/pasal yang terkait dengan dua jenjang kehidupan terakhir umat Hindu tersebut.

"Para dwijati yang berasal dari salah-satu dari empat jenjang kehidupan ini, harus mentaati dengan seksama sepuluh hukum (dasa dharmalaksana atau dasasila): kemantapan dalam melaksanakan upaya pencapaian tujuan akhir, suka mengampuni, melakukan pengendalikan diri dengan baik, tidak melakukan kecurangan dalam bentuk dan dengan cara apapun juga, taat dengan aturan pensucian diri, melaksanakan pengekangan terhadap hawa nafsu, teguh iman dalam pengetahuan tentang keutamaan jiwa, memegang kebenaran dan menghilangkan kemarahan. Mereka yang telah menerapkan kesepuluh disiplin moral ini, mencapai tingkat kesucian batin tertinggi." (VI: 91, 92 dan 93)

Adhyaya VII; memuat 226 pasal yang menguraikan garis-garis besar pola hidup beragama yang layak dianut oleh seorang Arya. Ia memuat berbagai peraturan hidup bernegara menurut hukum Hindu, seperti:

Pengertian negara, hukum ketata-negaraan, fungsi kepala negara atau kepala pemerintahan, jenis hukum dan politik yang dianutnya, jenis dan besar pengenaan pajak-pajak, peranan, jenis serta peranan duta besar, sistem pertahanan dan lainnya.

Sifat-sifat yang diharapkan bagi seorang raja, sesuai ajaran Astabrata, serta hal-hal yang harus dilaksanakannya.
Ketentuan mengenai hal-hal yang mempengaruhi pertumbuhan jiwa manusia dan keamanan negara, serta ketentuan-ketentuan mengenai hal-hal yang mesti dijauhi agar pembinaan masyarakat dapat dilaksanakan sesuai dengan ajaran agama.

Ketentuan mengenai pengangkatan pejabat-pejabat agama, baik sebagai Purohita (pendeta kenegaraan) maupun dalam fungsi lainnya.

Hukum tata tertib perang dipadukan dengan berbagai sistem politik yang diterapkan.
Sistem pembagian wilayah administrasi secara berjenjang, mulai dari desa kecil hingga negara.
Pembahasan tentang berbagai bentuk kegiatan perdagangan, peraturan tarif, pengawasan perdagangan, ukuran timbangan dan panjang, alat dan nilai tukar uang.

Ketentuan-ketentuan disudahi dengan tata cara hidup seorang raja, tempat tinggal dan kaputren.

Dari luasnya lingkup bahasan bab ini, dapat dimaklumi bila ia tidak menguraikannya secara rinci, melainkan hanya garis-garis besar atau ketentuan-ketentuan pokoknya saja.

Adhyaya VIII; bab yang terdiri dari 420 pasal ini pada pokoknya memuat berbagai aspek hukum, baik perdata dan pidana. Di dalamnya juga diatur mengenai hukum dagang, tata cara peradilan, sistem kesaksian dalam pembuktian suatu perkara, peraturan hutang-piutang, peraturan jual-beli, perselisihan perbatasan negara, perburuhan, penghinaan, penyerangan, pencurian, perjinahan dan berbagai peraturan minor lainnya.

Adhyaya IX; terdiri dari 336 pasal. Bab ini juga memuat berbagai peraturan-peraturan terkait dengan pemalsuan tanda-tangan, kejahatan berulang (residifis), hak kewarisan, kewajiban suami-istri, kewajiban-kewajiban lain dari raja, selain yang telah diuraikan dalam adhyaya VII sebelumnya.

Pada bahagian awal adhyaya ini, banyak diuraikan tentang wanita, kewajiban perlindungan terhadapnya dan kecenderungannya yang patut memperoleh penjagaan dari ayah, suami atau putranya. Pasal 22, 23 dan 24 dari bab ini dipandang sebagai lambang yang mensucikan sifat-sifat kewanitaan bila telah kawin dengan suami yang baik, ibarat sungai dengan segala sifatnya --deras, berbatu, berlumpur, berkelok-kelok dll.-- bila telah bersatu dengan samudra, sifat-sifat buruknya semula akan hilang. Disebutkan pula Aksamala, wanita kelahiran hina yang diperistri oleh Bhagawan Wasistha, dan Seranggi yang diperistri oleh Mandapala; keduanya menjadi wanita mulia yang layak memperoleh penghormatan.

Pada bahagian akhir, diuraikan tentang berbagai tugas dan kewajiban yang berhubungan dengan sistem Warna, serta akibat yang timbul dari perkawinan antar Warna. Adhyaya ini, khususnya terkait dengan masalah wanita dan pandangan Hindu terhadap wanita mengundang berbagai kritik; demikian pula yang menyangkut perkawinan antar Warna, seperti yang dirinci dalam bab X berikut. Yang menarik dalam bab ini adalah disyaratkan adanya hubungan erat antara fungsi pemerintahan dan fungsi keagamaan, yang dilukiskan dalam hubungan lembaga Ksatrya dan Brahmana.

Adhyaya X; meliputi 131 pasal, yang dapat disebut sebagai kelanjutan atau keterangan tambahan dari adhyaya sebelumnya. Disebutkan pada bahagian awalnya, bahwa Brahmana, Ksatrya dan Wesya adalah tiga golongan dwijati, yang berkewajiban mempelajari Veda-veda. Brahmana --yang oleh karena sifat-sifatnya yang luar biasa, keistimewaannya, kesucian batinnya-- merupakan Guru dari semua Warna.

Disebutkan pula tentang bentuk perkawinan yang tidak sederajat yang dibedakan atas dua sistem yakni: Anuloma dan Pratiloma. Anuloma adalah suatu bentuk perkawinan antar golongan atau Warna yang dianut menurut sistem perkawinan Hindu, yang membolehkan perkawinan dimana status golongan istri setingkat lebih rendah dari status suaminya. Pratiloma adalah suatu bentuk perkawinan antar golongan, yang membolehkan perkawinan dimana status golongan istri dua atau tiga tingkat lebih rendah dari status suaminya.

Sistem ini membuka kemungkinan poligami, namun tetap hanya dibenarkan satu perkawinan saja untuk perkawinan sederajat. Pengaruh yang ditimbulkan, sebagai akibat dari perkawinan tidak sederajat (campuran), dilukiskan sebagai kejadian yang dapat mengancam kehidupan sosial dalam negara. Namun secara keseluruhan tersirat bahwa Hindu menganut 'garis kebapakan', dengan tetap menghargai peran ibu secara fungsional.

Hukum mengenai jenis-jenis makanan yang boleh dimakan pada saat paceklik luar biasa, dimana pada aturan sebelumnya (keadaan normal) tiada diperkenankan. Disini tersirat hadirnya konsep Desa-Kala-Patra, seperti apa yang menjadi konsep unggulan dalam mengapresiasi ajaran di kalangan umat Hindu di Nusantara.

Adhyaya XI; memuat peraturan-peraturan berbagai pelaksanaan pemberian dana punia, derma dan yajna. Dalam bab yang terdiri dari 266 pasal ini, juga dibahas tentang kewajiban yang harus dipenuhi oleh seseorang didalam meningkatkan kesejahteraan sosial masyarakat dan dirinya sendiri. Ketentuan hukum tentang pelaksanaan 'daksina' (persembahan kepada Brahmana), menempatkan Brahmana sebagai fungsi masyarakat yang memiliki hak-hak istimewa.

Yang amat menarik dari bab ini adalah ketentuan tentang Tapa. Definisi, istilah dan jenis-jenis Tapa. Hal menarik lainnya adalah tentang alih agama, pensucian dan penebusan dosa. Penebusan dosa secara tegas dapat dilakukan dengan mempelajari Veda. Ia dianggap amat efektif disamping Tapa. Pasal-pasal berikut menyatakan kekuatan dari Tapa dalam upaya mensucikan batin.

"Apapun yang sukar untuk dilalui, apapun yang sukar untuk dicapai, apapun yang sukar untuk diperoleh, apapun yang sukar untuk dilakukan, semuanya dapat dicapai dengan kesucian Tapa, karena Tapa mempunyai kekuatan untuk melintasinya. Mereka yang telah melakukan dosa besar dan beberapa kesalahan lainnya, dapat dibebaskan dengan melakukan Tapa. Serangga, ular, ngengat, kumbang, burung dan makhluk lainnya, berhenti bergerak dan mencapai surga hanya karena Tapanya. Apapun dosa-dosa yang telah diperbuat oleh seseorang melalui pikirannya, perkataannya ataupun perbuatan-perbuatannya, semua dapat dimusnahkan dengan segera melalui Tapanya yang teguh, terjaga bak hartawan menjaga kekayaannya. Para Dewa-dewa menerima setiap persembahan para Brahmana, yang telah disucikan oleh Tapanya, akan menerima pahala dan dikabulkan semua permintaannya. Yang Maha Kuasa, Prajapati, menciptakan lembaga suci itu melalui Tapa-Nya; demikian pula halnya dengan para Rshi, menerima wahyu Veda karena Tapa merek

a. Para Dewa-dewa melalui Tapanya kembali ke alam kesucian; demikianlah keutamaan dari Tapa." (XI: 239, 240, 241, 242, 243, 244 dan 245)

Adhyaya XII; adalah bab terakhir dari kitab hukum Hindu ini. Ia terdiri dari 126 pasal yang menguraikan tentang hal-hal yang berhubungan dengan berbagai sistem guna mencapai Kelepasan (Moksha). Dalam bab ini juga dikedepankan ajaran Trikaya Parisudha, upaya terus menerus mensucikan pikiran, perkataan dan perbuatan. Gambaran proses pelepasan, perjalanan rokh menuju alamnya yang baru, disinggung pula secara sumir. Demikian pula gambaran tentang alam semesta dan berbagai rokh-rokh suci dijelaskan secara singkat, disamping hubungan antara Atman dengan Para Brahman.

Yang tidak kalah pentingnya adalah tentang majelis umat yang disebut PARISADA. Pelembagaan Parisada diperlukan mengingat fungsinya sebagai lembaga yudikatif ataupun legislatif, yang diatur pada pasal 109 hingga 115. Gagasan Moksha dan semangat guna memungkinkan pencapaiannya, merupakan dasar dari ketentuan-ketentuan hukum yang diatur. Oleh karenanya, bahagian ini dianggap memuat dasar-dasar praktek pemgamalan ajaran Hindu.

* Bagimana relevansinya terhadap kehidupan umat Hindu modern dewasa ini?

Seperti telah disebutkan sebelumnya, bahwa ruang lingkup Dharmashastra mencakup nyaris semua aspek kehidupan duniawi, yang teramat luas. Manawa Dharmashastra adalah yang terlengkap dan rinci, sehingga paling banyak diacu secara luas diberbagai kalangan Hindu dunia.

Jadi, relevansinya bagi umat Hindu di segala jaman juga amat erat dan mendasar sifatnya. Kendati demikian, sesuai perkembangan jaman, lingkungan serta pemikiran manusia, iapun mendapat kritik-kritik, interpretasi, aktualisasi serta penyesuaian disana-sini dalam penerapannya, oleh para suciwan, penulis-penulis Dharmashastra sesudahnya.

Kritik-kritik yang diketengahkan oleh Kullukabhatta (120 M), Wiswarupa (800 - 825 M) dan Medhiti (825 - 900 M) dipandang sebagai reformasi prinsipil dalam hukum Hindu, disesuaikan menurut kondisi, jaman dan tradisi dimana ia berkembang. Proses pertumbuhan atau pengembangan ajaran Hukum Manu sangat dipengaruhi oleh Wiswarupa yang menulis Balakrida.

Sikap penolakan terhadap beberapa ketentuan yang dianggap tidak sesuai lagi, sebetulnya bukannya dimulai oleh ketiga tokoh tersebut saja, namun telah dimulai sebelumnya oleh Sankha-Likhita (300 - 100 SM) dan Wikhana. Beliau berdua mengemukakan bahwa Manawa Dharmashastra adalah ajaran Dharma yang khas untuk Krta Yuga. Sankha-Likhita selengkapnya menyatakan bahwa:

~Dharmashastranya Manu untuk Krta Yuga,
~Dharmashastranya Gautama untuk Treta Yuga,
~Dharmashastranya Sankha-Likhita untuk Dvapara Yuga, dan
~Dharmashastranya Parasara untuk Kali Yuga, jaman dimana kita hidup.

Sehubungan dengan kenyataan bahwa ia tidak mungkin diterapkan secara penuh, guna keperluan praktis dan guna mengakomodasikan penyesuaian-penyesuaian yang diperlukan, telah digubah peraturan-peraturan hukum terapan, yang mengambil bahagian-bahagian ketentuan yang tercantum didalamnya. Di Nusantara, mereka tertuang sebagai produk ilmu hukum, sosial dan tata kemasyarakatan sebagai kitab yang berdiri sendiri. Di Indonesia sendiri, ditemukan 12 judul kitab sejenis dengan aspek bahasan berbeda-beda yakni: Sarasamuschaya, Syara Jamba, Siwasasana, Purwadhigama, Purwagama, Dewagama (Krtopati), Kutaramanawa, Gajahmada, Adigama, Krta Sima, Krtasima Subak dan Paswara.

Dari keduabelas kitab tersebut, secara berturut-turut Sarasamuschaya, Kutaramanawa (1360 M) dan Adigama (1401 M, banyak persamaannya dengan Kutaramanawa) mungkin merupakan kitab-kitab yang paling kita kenal, disamping kitab-kitab 'sasana', yang memuat ajaran hukum Hindu. Kitab Kutaramanawa dianggap sebagai kitab yang mengetengahkan berbagai asas hukum yang dianut oleh Bhagawan Brghu dan Manawa Dharmashastra. Ia memuat tafsir dari ajaran yang tertuang dalam Manawa Dharmashastra untuk kemudian diterapkan, menurut contoh-contoh kejadian di Nusantara, setelah mempertimbangkan lagi aspek kultural dan aspek-aspek terkait lainnya. Semua ini menjelaskan tentang sejarah dan latar-belakang hukum-hukum adat di Indonesia, yang ternyata banyak menggunakan ajaran Manu sebagai dasarnya. Demikian papar bapak G. Pudja M.A; SH. dan Tjokorda Rai Sudharta M.A.

Kitab Manawa Dharmashastra yang diterjemahkan oleh bapak G. Pudja M.A; SH. dan Tjokorda Rai Sudharta M.A bahkan tidak menyertakan pasal 164 sampai dengan pasal 167 dari adhyaya V. Ini dapat dijadikan sebagai suatu petunjuk dari adanya upaya-upaya penyesuaian, pembaharuan, yang kritis dan terus-menerus oleh umat Hindu terhadap kitab-kitab ajarannya. Beberapa pasal mungkin sudah tidak relevan lagi dengan jaman serta pola pikir manusia modern, namun masih banyak pemikiran-pemikiran dalam kerangka Hinduisme yang masih dan senantiasa relevan terkandung didalamnya. Sikap kritis dan penuh kewaspadaan, yang dilengkapi dengan pengetahuan seperti yang tercantum dalam Sruti termasuk Upanishad-upanishad, terrasa semakin penting dalam pembentukan watak dan sikap mental Hindu.

Bila boleh disimpulkan hanya dalam satu kalimat saja, maka Manawa Dharmashastra tiada lain adalah 'kitab suci yang mem berikan penekanan terhadap hak dan kewajiban manusia Hindu --sebagai makhluk sosial sekaligus makhluk spiritual-- berikut segala konsekwensi dari pelaksanaannya.'

Besar harapan saya tulisan ini mampu memberi gambaran kasar, dengan mana kita dapat lebih didekatkan lagi kepada salah-satu kitab suci kita. Dengan demikian dapat diharapkan suatu kemudahan dalam mencari referensi atau dasar bertindak, yang masih dalam kerangka berpikir Hindu.

Semoga Cahaya Agung-Nya senantiasa menerangi setiap gerak-langkah kita.
Semoga Kedamaian dan Kebahagiaan senantiasa menghuni kalbu semua insan.

Denpasar, 26 Juli 2000.

Shanti citta,
____________________________________________________
Bacaan:

* "Am I a Hindu?", karya Ed. Viswanathan yang diterjemahkan oleh N.P. Putra.
* Satu Pengantar Dalam Ilmu Weda; G. Pudja, M.A, SH.; 1985.
* Manawa Dharmacastra - Compendium Hukum Hindu; G. Pudja, M.A, SH. dan Tjokorda Rai Sudharta M.A; 1976/1977.

Anatta Gotama
Sumber : HDNet
posted by Bali @ 07.12  
0 Comments:
Posting Komentar
<< Home
 
About Me

Name: Bali
Home:
About Me:
See my complete profile
Previous Post
Archives
Links
Bali Article
Page Rank

Free Alexa Rank Checker Script

© 2006 Bali Artilce .Bali Information by back