-->
 

Bali Artilce

 

Bali Article
Bali Hotels Area
Bali Article
.
Bali Article
Bali Article
Welcome to Bali Article
Bali Age, Bali Majapahit
Senin, 22 September 2008


Bali Age, Bali Majapahit, Setelah kurang lebih tujuh abad, terjadi mengembang biakan (hibriditas)identitas orang Bali. Dalam hibriditas identitas itu terjadi konflik dan integrasi sosial. Konflik dan integrasi sosial bersifat elastis dan fluktuatif, seperti “gelang karet”. Dalam kurun waktu tertentu, rumusan pembeda identitas menjadi sedemikian renggangnya hingga menimbulkan konflik. Namun dalam konjungtur waktu yang berbeda, sebuah pembeda identitas tidak relevan lagi dan merumuskan pembeda yang baru. Misalnya, Kini orang Bali berbicara tentang “kehilangan Ke-Balian” untuk menegaskan posisi mereka berhadapan dengan kepentingan ekonomi-politik luar Bali. Akibatnya, pembeda identitas lain yang pernah ada seperti Bali Age-Bali Majapahit dan identitas Kewangsaan menjadi pudar. Dan rumusan menjadi orang Bali menjadi sumber integrasi sosial. Di sini kita bisa melihat bahwa identitas di Bali memenuhi fungsinya yang instrumentalis.

Identitas dalam Sejarah

Secara historis, identitas orang Bali berkembang menjadi beberapa kategori pembeda. Pertama, identitas Bali Mula dan Bali Majapahit. Dimulai sekitar tahun 1350 Masehi ketika Sri Kresna Kepakisan, pemegang kuasa Majapahit atas Bali, mengukuhkan identitas sosial baru. Wong Majapahit, yang membedakan dengan identitas penduduk lokal Bali sebelumnya, yang disebut Wong Age (Bali Age). Identitas itu memberi pembeda dalam lapangan kebudayaan, agama dan politik sampai saat ini.

Secara geokultural, orang-orang Bali keturunan Majapahit tinggal di daerah Bali dataran yang berlimpah dengan air. Sehingga, mereka mengenal sistem pengairan (subak) dan juga menganut sistem apanage. Secara politis, orang Bali dataran lebih memilih sistem kepemimpinan tunggal dan monolitik. Mereka mengenal Puri dan Grya sebagai pemegang otoritas ekonomi-politik dan kultural. Sebaliknya, orang Bali Age tinggal di wilayah pedalaman yang berbukit-bukit. Secara ekologis, mereka sangat tergantung pada alam dan sumber daya hutan. Secara politis, mempunyai sistem sosial yang komunal dan kepemimpinan kolektif.

Kedua, sejalan dengan tegaknya kekuasaan Majapahit di Bali maka lahir pembeda lain yang didasarkan atas identitas kewangsaan yaitu antara tri wangsa dan jaba wangsa. Pembeda identitas kewangsaan ini asal usulnya bisa dilacak dari dua doktrin keagamaan Hindu-Majapahit: doktrin dewa raja dan doktrin wangsa. Dalam doktrin Dewa-raja, raja dan ksatrya wangsa (negara) merupakan representasi daulat kekuasaan kedewaan. Sehingga, identitas kewangsaan itu memikul tugas “suci” menegakan kekuasaan kedewaan dengan membangun tertib sosial dan moral.

Dalam doktrin ini tatanan masyarakat dibayangkan seperti tubuh manusia (organic), yang mempunyai kepala, badan, kaki dan tangan. Setiap elemen dalam tubuh manusia mempunya fungsi dan tugas sendiri-sendiri. Walaupun demikian, kepala dianggap sebagai organ yang utama. Paham tentang tubuh manusia ini lalu diturunkan ke dalam tatanan sosial. Implikasinya, lahir stratifikasi dan hieraki sosial. Konsekuensi pemahaman doktrinal keagamaan seperti itu mengakibatkan tata sosial-politik di Bali di masa lalu menempatkan “linggih” dan “sor-singgih” menjadi sangat sentral. “Linggih” dan “sor-singgih” lalu diterjemahkan ke dalam struktur kebahasaan yang hierarkis (sor-singgih base), perbedaan gaya hidup (nganutin antuk linggih) maupun sakralisasi status sosial.

Ketiga, disintegrasi kekuasaan Gelgel pada tahun 1700 yang diikuti oleh masuknya kolonial pada tahun 1908 memunculkan pembeda identitas yang bersendi pada sikap orang Bali pada republik: golongan reaksioner dan republiken. Identitas ini berkembang pada masa revolusi (1945-1950). Saat itu, kekuasaan politik masih berada di tangan Dewan Raja-raja. Kekuasaan mereka mendapatkan legitimasi dari NICA yang datang ke Bali setelah kekalahan Jepang. Untuk mengukuhkan kekuasaannya, beberapa raja kemudian membentuk gerakan yang disebut gerakan reaksioner. Mereka juga membentuk milisi sipil yang direkrut dari kalangan pemuda. Milisi ini dibentuk untuk menghadapi pejuang gerilya pro republik. Pejuang pro republik ini kemudian disebut golongan republiken.

Kapitalisme Pariwisata dan Kebalian

Pembeda yang keempat adalah identitas Ke-Balian. Gejala menguatnya identitas Ke-Balian ini bisa dimaknai dalam tiga kategori. Pertama, ia muncul sebagai instrumen resistensi dari aktor-aktor (agency) lokal terhadap berbagai proses sosial-ekonomi-politik yang terjadi di Bali. Kedua, sebagai invensi dari modernitas dan Negara. Ketiga, antara resistensi dan invensi saling menguatkan identitas Ke-Balian.

Sebagai invensi modernitas, Ke-Balian muncul sebagai kreativitas aktor-aktor modern memanfaatkan tradisi untuk mengakumulasi kapital (modernitas). Hal yang sama dilakukan oleh Negara yang memanfaatkan tradisi untuk kepentingannya pembangunan, pertumbuhan ekonomi, stabilitas dan sebagainya.

Sebagai bentuk resistensi fenomena penguatan Ke-Balian merupakan reaksi terhadap kehadiran dua kekuatan yaitu rezim modernitas dan proses negaraisasi. Rezim modernitas mempunyai kekuatan mengontrol individu dalam komunitas untuk memenuhi standar kehidupan modern melalui berbagai proyek pendisiplinan. Modernitas kemudian membawa apa yang disebut homogenisasi “taste of culture” yang meniadakan keunikan dan keberbedaan. Dalam konteks inilah identitas digunakan untuk melakukan penolakan “penyeragaman” oleh modernitas.

Selain itu, identitas Ke-Balian merupakan reaksi atas perubahan konfigurasi ekonomi-politik akibat Kapitalisme Pariwisata. Intensifnya perkembangan pariwisata di Bali sejalan dengan menurunnya kemampuan Negara sebagai motor penggerak ekonomi pasca oil boom, mendorong munculnya gelombang migrasi dari daerah-daerah di luar Bali.

Berbeda dengan pola migrasi pada masa Gelgel dan kolonial, kehadiran migran dalam konteks pasca kolonial lebih didorong oleh rasionalitas ekonomi yang bertemu dengan logika kapitalisme-pasar. Kalangan migran baru ini mempunyai sejumlah rasionalitas ekonomi sebagai alasan utama untuk berpindah ke Bali.

Dari Pertukaran menuju Kompetisi

Kehadiran pendatang dapat dipastikan menimbulkan perubahan konfigurasi demografik di Bali. Bali yang dulu dikenal sebagai daerah homogen kini menjadi heterogen, terutama di kawasan pariwisata. Kehadiran pendatang juga menimbulkan pergeseran pola relasi pendatang-pribumi, dari hubungan pertukaran menjadi relasi yang kompetitif. Pergeseran ini terjadi ketika perkembangan pariwisata membawa ketimpangan antara lapangan kerja yang tersedia dengan jumlah pencari kerja. Di beberapa sektor ekonomi, kehadiran tenaga kerja pendatang memang menjadi komplementer (muncul exchange) karena kelangkaan tenaga kerja lokal yang masuk ke sektor ekonomi itu. Namun, sebagian besar sektor-sektor ekonomi menjadi arena kompetisi antara penduduk lokal dan pendatang. Dalam ruang ini, orang Bali bersaing dengan orang Jawa, Sumatera dan sebagainya untuk memperebutkan lapangan kerja.

Kompetisi tidak hanya terjadi dalam perebutan lapangan pekerjaan, melainkan juga dalam kompetisi antar pemodal dan kelas menengah profesional. Kaum kapitalis lokal bersaing dengan pemodal dari luar Bali. Sedangkan kaum profesional Bali juga harus menghadapi persaingan dengan kaum profesional dari luar Bali.

Selain membangun kompetisi ekonomi, perkembangan kapitalisme di Bali juga mengukuhkan prasangka etnis di bidang ekonomi. Logika kapital yang lebih memperhatikan keuntungan ekonomi mendorong kaum kapitalis, baik orang Bali maupun orang non Bali, untuk mendapatkan tenaga kerja yang bisa dibayar murah serta tidak merugikan akumulasi kapital. Pilihan mencari tenaga kerja murah menyebabkan kaum pemodal kemudian lebih “melirik” tenaga kerja pendatang, karena umumnya mereka mau dibayar lebih murah.

Selain itu, pilihan terhadap tenaga kerja pendatang juga dilakukan atas prasangka etnisitas: karena tenaga kerja Bali dianggap “banyak libur”. Streotipe ini muncul ketika orang Bali harus terlibat dalam kegiatan adat (ayahan ke Banjar dan Desa Adat) dan keagamaan (hari raya keagamaan). Konsekuensi logisnya, kapitalis lebih diuntungkan bila merekrut tenaga kerja pendatang dibandingkan dengan tenaga kerja lokal.

Kompetisi ekonomi, baik di level pemilik modal maupun tenaga kerja, menimbulkan fenomena menguatnya ethnosentrisme orang Bali yang nampak dari persepsi tentang ancaman terhadap identitas Ke-Balian dari kalangan pendatang. Keterancaman ini tidak saja dalam hal perebutan sumber-sumber ekonomi melainkan juga masuk ke domain kultural-spritual. Kehadiran pendatang dianggap “melunturkan atau bahkan menghancurkan” sendi-sendi budaya, adat dan agama orang Bali. (A.A.G.N. Ari Dwipayana)

posted by Bali @ 07.05  
0 Comments:
Posting Komentar
<< Home
 
About Me

Name: Bali
Home:
About Me:
See my complete profile
Previous Post
Archives
Links
Bali Article
Page Rank

Free Alexa Rank Checker Script

© 2006 Bali Artilce .Bali Information by back