Bali Article |
|
Bali Hotels Area |
|
Bali Article |
.
|
Bali Article |
|
Bali Article |
|
|
Welcome to Bali Article |
Sejarah Puputan di Bali |
Senin, 22 September 2008 |
|
Bali bukanlah hanya kisah kekalahan demi kekalahan melawan Belanda lewat puputan. Bali pernah menang menghadapi penjajah licik bersenjata modern, di Jagaraga dan Kusamba. Tapi, kenapa Bali malah riuh dengan puputan dan kisah kekalahan? Alangkah riuh seabad puputan Badung diperingati. Peristiwa 20 September 1906 di Denpasar—saat itu lazim disebut Badung—tersebut memang kerap dielu-lukan, dibangga-banggakan, terutama oleh pemerintah daerah, meskipun berujung pada kekalahan telak di pihak Badung, Bali. Saban kali orang mengenang peristiwa heroik rakyat Bali melawan penjajah Belanda, orang sontak menyebut puputan sebagai rujukan utama. Lewat buku-buku pelajaran sekolah, anak-anak Bali pun ditebari kisah puputan sebagai bentuk perjuangan jitu orang Bali. Tak heran bila momentum seabad puputan Badung, 20 September 2006, dikenang begitu riuh: ada seminar, peluncuran buku, hingga gelar seni—tentu tiada terlupakan aneka perlombaan bernuansa meriah berupa gerak jalan, lomba balaganjur, dan semacamnya. Dengan begitu terbentuklah citra salah: Bali cuma punya puputan dan kekalahan ditekuk Belanda. Petinggi-petinggi Bali di birokrasi pemerintahan salah mencitrakan diri dengan meriuhkan kekalahan, malah abai memaknai kemenangan. Tak banyak yang ingat, menyadari, sesungguhnyalah Bali punya catatan prestasi menekuk Belanda, mengalahkan si penjajah. Bali pernah menang melawan Belanda: di Jagaraga, Buleleng, 9 Juni 1848, dan di Kusamba, Klungkung, 25 Mei 1849. Bali bukanlah hanya kekalahan demi kekalahan lewat puputan. Bali juga punya kemenangan yang patut dipancangkan ke sanubari generasi baru Bali agar tidak berjiwa kerdil, menjadi pecundang dengan hanya mendengar kata puputan. Pelajaran kemenangan itu dipancangkan 9 Juni 1848. Dalam peristiwa hampir 20 windu itu, Belanda yang bersenjata tempur otomatis dan lengkap keok oleh laskar persekutuan segitiga Buleleng-Karangasem-Klungkung di bawah panglima perang Patih Agung I Gusti Ketut Jelantik. Itulah momentum kemenangan laskar bertombak Bali yang tak hanya memberangkan Gubernur Jenderal J.J. Rochusen di Batavia tapi juga mengguncangkan parlemen di Negeri Belanda. Peristiwa kemenangan Jagaraga itu dimulai setelah Belanda gagal memaksa Raja Buleleng I Gusti Made Karangasem dengan Patih Agungnya, I Gusti Ketut Jelantik, untuk sukarela menyerahkan kedaulatan wilayah Kerajaan Buleleng di bawah kekuasaan Belanda. Paksaan itu ditekankan Belanda lewat Komisaris Pemerintah JPT Mayor dengan menunjukkan selembar kertas yang berisi perjanjian pengakuan raja-raja di Bali kepada pemerintah kolonial Belanda, tahun 1841-43. Patih Jelantik terang saja murka dipaksa-paksa begitu. Sembari memukul dadanya sendiri dengan kepalan tangan, putra I Gusti Nyoman Jelantik Boja yang sudah lama menetap di Sangket, Buleleng, itu berseru keras, “Tidak bisa menguasai negeri orang lain hanya dengan sehelai kertas, tetapi harus diselesaikan di atas ujung keris. Selama aku, Patih Agung Jelantik, masih hidup, kerajaan ini tidak akan pernah mengakui kedaulatan Belanda!” Surat perjanjian itu lalu dirobeknya dengan ujung keris. Diberi tempo waktu 3 x 24 jam buat memenuhi tuntutan Belanda, Jelantik tetap kukuh, bergeming. Dalam perundingan ulang yang dijembatani Raja Klungkung, 12 Mei 1845, di Puri Klungkung, pun Jelantik tetap menepis permintaan Belanda. “Hai, kau, si mata putih yang biadab!” balas Patih Jelantik dengan kata dan raut muka mengejek ke arah utusan Belanda, “Sampaikan pesanku kepada pemimpinmu di Betawi agar segera menyerang Den Bukit!” Belanda memulai ekspedisi militer pertama ke Bali, 27 Juni 1846. Dari sini Belanda menguasai Buleleng setelah melewati pertempuran sengit hingga 29 Juni 1846. Raja Buleleng dan Patih Jelantik mundur ke Jagaraga. Di sinilah Jelantik mulai membangun benteng-benteng pertahanan dalam bentang alam yang strategis dengan gelar “Supit Urang”. Alam Jagaraga memang tandus, namun topografinya sebagai pegunungan terjal dengan dua sungai pengapit di kiri-kanan yang menghubungkan ke tepian pantai dijadikan basis pertahanan. Benteng “Supit Urang” tulah menjadikan Belanda dalam ekspedisi militer kedua di bawah Panglima Perang Mayor Jenderal van der Wijck keok. Dalam pertempuran sengit di Jagaraga, 9 Juni 1848 itu, van der Wijck tak ada pilihan kecuali memerintahkan pasukannya yang sudah kehabisan mesiu mundur ke Sangsit, lalu ngacir lagi ke Jawa, esoknya. Sayangnya, Patih Jelantik tak memerintahkan laskarnya terus mengepung pasukan Belanda yang sudah jerih itu. Kekalahan Belanda itu menggemparkan Batavia, seluruh Hindia, hingga ke parlemen Belanda. Pihak Belanda mengagumi dan mengakui kedahsyatan strategi perang Patih Jelantik. Mereka menduga-duga Jelantik telah mendapat pengarahan dari ahli militer Eropa. Terang saja itu cuma tafsiran bohong sebab Jelantik justru menyerap ilmu perang dari hamparan subur susastra-agama yang bertebaran di Bali. Strategi unggul-ulung Jelantik itu merenggut korban di pihak Belanda, berupa: tewas 5 perwira, 94 bintara dan prajurit; luka-luka 7 perwira, 98 bintara dan prajurit. Masih ada pula 32 bintara tak bisa diandalkan akibat kelelahan dan luka ringan, serta 24 prajurit lain mesti dirawat di rumah sakit darurat akibat pertempuran dua hari menghadapi pasukan Jagaraga. Sedangkan dalam laporannya kepada Raja Klungkung, Patih Jelantik mencatat di pihak Jagaraga jatuh korban: tewas 3 pedanda, 35 kaum brahmana, 163 bangsawan dan pembekel, serta 2.000 prajurit. Kedahsyatan semangat tempur laskar Patih Jelantik dicatat dalam kesaksian orang Belanda yang menulis di Surat Kabar Negara Belanda (De Nederlandsche Staatcourant) dengan kode K, sebagaimana dikutip Ide Anak Agung Gde Agung dalam Bali pada Abad XIX (1989). Di sana K menulis, “Bukan karena kubu-kubu pertahanan yang kuat menghalangi pasukan kita (baca: Belanda, Red) untuk menguasai Jagaraga, akan tetapi karena perlawanan yang berani, galak, dan penuh semangat juang musuh yang tak kunjung padam, yang sepuluh kali jumlahnya dibandingkan kekuatan kita, dan berhasil memukul mundur pasukan kita tiga kali dari kubu pertahanan yang berhasil diduduki oleh batalyon ketiga dan sesudah itu mengadakan serangan balasan terhadap kedudukan kita, akan tetapi berhasil ditahan dengan tembakan meriam. … Siasat itu tidak berhasil karena Adipati Agung Gusti Ketut Jelantik berada di tempat dan memimpin pasukannya dengan memberi semangat juang kepada pasukan Bali, sehingga mereka memberi perlawanan hebat dengan gaya tempur yang belum pernah kita alami dan tidak ada bandingannya dalam medan perang lain dalam sejarah panjang angkatan darat kita di Hindia.” Lewat ekspedisi militer ketiga ke Buleleng di bawah Panglima Perang Jenderal A.V. Michiels, Jagaraga memang bisa direbut Belanda, 16 April 1849. Saat itu, Belanda mengerahkan militer besar-besaran dengan kekuatan: 4.737 orang pasukan angkatan darat, 2.000 tenaga buruh dari Madura, dan 1.000 tenaga cadangan dari Jawa Timur. Ini ditambah 4.000 pasukan bantuan Raja Seleparang, Lombok. Ditambah pula dengan 29 kapal perang yang membawa 286 meriam, 301 marinir, 2.012 perwira dan awak kapal berbangsa Eropa, serta 701 pelaut dan kelasi Bumiputera. Patih Jelantik sejak awal sudah memperhitungkan Belanda akan datang lagi dengan kekuatan militer berlipat-lipat. Karena itu, dia berstrategi membangun benteng pertahanan lapis kedua di daerah Batur yang lebih sulit dijangkau Belanda. Sayangnya, Raja Bangli saat itu malah main mata pada Belanda dengan memberikan dukungan senjata. Imbalan yang diberikan Belanda: Raja Bangli bisa merebut Batur yang dikuasai Buleleng saat Buleleng bertempur di Jagaraga dengan Belanda. Maka, ketika Jelantik dan Raja Buleleng menyingkir ke Batur setelah Jagaraga dikuasai Belanda, Raja Bangli melarang. Jelantik dan Rajanya lantas menyingkir ke Karangasem. Karangasem kelak digempur Belanda dengan bantuan pasukan Raja Selaparang, Lombok, yang dendam pada Karangasem. Dalam penyelamatan diri ke Bale Punduk bersama Raja Buleleng, Jelantik tewas direbut laskar Lombok. Panglima Perang Mayjen A.V. Michiles memang sudah membalaskan kekalahan Belanda atas Jelantik lewat Jagaraga. Namun, toh akhirnya Michiels pun membayar amat mahal keperwiraan Jelantik. Michiles yang berbintang tujuh itu akhirnya menemui ajalnya di tangan laskar pamating Klungkung lewat perang Kusamba, 25 Mei 1849. Kemenangannya di Jagaraga akhirnya dibayar amat mahal pula, dengan nyawanya, di ujung timur Klungkung. Begitupun, Bali hingga kini tetap saja salah membaca sejarah masa lampaunya: mengabaikan momentum dan pelajaran amat berharga dan langka dari kemenangan Jagaraga, dan tiada kunjung insyaf pula memberi penghargaan sewajarnya bagi tonggak keperwiraan Patih Agung I Gusti Ketut Jelantik. Jelantik terang tak kalah gemilang-perwira dibandingkan keperwiraan Sentot Alibasyah Prawirodirdjo, Imam Bonjol (Minangkabau), Pattimura, Diponegoro (Jawa), Pangeran Antasari (Kalimantan), Panglima Polim, ataupun Teuku Cik Ditiro di Aceh sana. Belanda perlu waktu empat tahun buat menundukkan seorang Patih Jelantik, setelah melewati ketegangan perang urat syaraf hingga perang fisik 1846-49. Itupun dengan pengerahan pasukan dan logistik perang besar-besaran berteknologi modern buat melawan laskar bersenjata tradisional. Semestinya Bali belajar lebih cermat dari isyarat yang dihamparkan Jagaraga itu. Dari Jagaraga Bali bisa belajar perihal “revolusi taktik dan strategi” untuk menghadapi tekanan gelombang asing, bukan malah gampang-gampangan saja menyerah, berpuputan. Dari sana bisa dibaca: betapa mahal akibatnya bila Bali tak bersatu-utuh. Jelantik jelas pemimpin visioner pertama di Bali ini yang merasakan betapa menyakitkan akibat yang mesti diterima karena sesama Bali tak bersatu-utuh menghadapi gempuran dari luar Bali. Sejarah Bali bukan mustahil akan berkelok arah andai perlawanan Patih Jelantik didukung segenap raja-raja di Bali, bukan malah main menelikung ‘selingkuh’ dengan kolonial asing, pemodal, lalu cari untung sendiri-sendiri. Kebersatupaduan Bali menghadapi asing sebelumnya telah terbukti membikin urung Inggris menduduki Bali. Sayangnya, Bali kini naga-naganya malah terus mengulang kesalahan raja-raja Bali masa lampau yang tak bersatu-padu membantu Patih Jelantik, sembari main mata-selingkuh buat cari untung sendiri-sendiri dengan tameng alasan otonomi daerah. Keterpurukan ekonomi-sosial-politik Bali pascabom Kuta, 12 Oktober 2002 dan bom Jimbaran, 1 Oktober 2005, kini akan dapat ditolong dengan kesadaran membangun “revolusi taktik dan strategi” secara menyeluruh bagi satu Bali. Tanpa begitu, Bali akan menjadi koloni ekonomi dan politik hanya lewat selembar kertas perjanjian—yang dulu sesadar-sadarnya ditolak Patih Jelantik. I Ketut Sumarta Jenderal Jagoan Belanda Tertembak di Kusamba Moral pasukan Belanda rontok menyusul kematian Mayor Jenderal AV Michiels akibat tertembak laskar Bali di Kusamba. Ini kemenangan kedua Bali atas Belanda yang malah dilupakan orang Bali. Mungkin karena tak ada raja yang kalah di sana? Pukul 3 dini hari, 25 Mei 1849. Laskar pamating (pasukan berani mati) dan telik tanem (pengintai) Klungkung tiba-tiba menyerang pasukan Belanda yang telah menguasai Puri Kusamba, sehari sebelumnya. Di bawah komando Mayor Jenderal AV Michiels, setelah menaklukkan Kerajaan Buleleng dan Karangasem yang bersekutu, pasukan Belanda yang bermarkas di Padang Cove (kini Padangbai) lantas menggempur Klungkung dari Goa Lawah, lalu menguasai Kusamba, 24 Mei 1849. Karena belum memiliki data dan peta pasti perihal Klungkung, sang jenderal memutuskan mengurungkan niatnya langsung menyerang ibukota Kerajaan Klungkung. Dia memerintahkan pasukannya bermalam dulu di Kusamba. Dinihari, 25 Mei 1849 esoknya itulah Raja Klungkung Dewa Agung Istri Kanya memerintahkan laskar pamating merebut kembali Kusamba dalam suatu aksi “serangan fajar”. Berperang dalam suasana gulita, pihak Belanda kelabakan, apalagi Puri Kusamba yang dijadikan markas saat itu belum dikenali lekuk-likunya. Beda dengan laskar pamating yang sudah fasih dengan seluk-beluk puri. Kondisi demikian memaksa pasukan Belanda menggunakan peluru cahaya (lichtkogel). Justru itu menjadi titik lemah karena laskar pamating malah dapat mengenali musuh dengan cermat. Saat itulah senapan besar pusaka Klungkung bernama I Seliksik, yang dimitoskan bisa mencari sendiri sasarannya, layaknya peluru kendali, menembus paha kanan Jenderal Michiels. Saat itu si Jenderal sedang berdiri di depan istana mengatur siasat perang. Si Jenderal terjungkal. Perwira kesehatan menganjurkan agar kakinya dipotong, tapi dia menolak. Ia minta dirawat di kapal komando di Padang Cove. Keadaannya kian memburuk. Pukul 11 malam, 25 Mei 1849, sang jenderal meninggal. Dua hari berselang jasadnya dilayarkan ke Batavia dengan kapal perang Etna. Moral pasukan Belanda lantak. Mereka menelan kegetiran: tujuh tewas, termasuk Jenderal Michiels dan Kapten H Everste, selain 28 luka-luka. Meskipun merenggut nyawa 800 dan melukai 1000 laskar Kusamba, toh penguasa Belanda di Batavia amat geram kehilangan Michiels karena bekas Gubernur Militer dan Sipil di Sumatra Barat berbintang tujuh itu tercatat telah meraup kemenangan di tujuh daerah. Dia menggantikan posisi Mayor Jenderal Jonkheer C. van der Wijck, Panglima Tertinggi Tentara Kerajaan Belanda di Hindia Belanda, yang sempat memimpin ekspedisi kedua militer Belanda ke Bali, dan dikalahkan dalam perang Jagaraga, 9 Juni 1848. Usai kalah di Jagaraga, van der Wijck menolak dikirim lagi ke Bali. Ia minta dibebastugaskan, lalu kembali ke Belanda. Di Kusamba si Jenderal Michiels bukan merengkuh untung, justru menuai buntung. Ia dijemput maut. Dalam versi penulis Belanda, AWP Weitze, yang diterbitkan 10 tahun (1859) setelah usai perang Kusamba itu, posisi van Michiels kemudian digantikan Letkol van Swieten. Di bawah komando perwira tertua dalam pasukan Belanda saat itu, perang dilanjutkan. Siang hari, laskar Kusamba dipaksa mundur ke Klungkung dan desa-desa sekitarnya. Semula dia ingin tetap bermarkas di Kusamba agar memperpendek jarak perundingan dengan Raja Klungkung. Namun taktik bumi hangus sekonyong-konyong dan gerilya yang dijalankan laskar Klungkung membikin dia jerih. Apalagi moral pasukan Belanda sedang anjlok akibat kematian Jenderal van Michiels. Van Swieten menarik pasukannya ke Padangbai. Kusamba hanya dijaga pasukan terbatas, dengan pertahanan lemah. Kondisi ini memantik Raja Anak Agung Istri Kanya beserta Adipati Dewa Agung Ketut Agung mengikrarkan serangan balik ke Kusamba. Pelabuhan utama Klungkung di ujung timur Klungkung itu pun direbut kembali. Pasukan di kapal-kapal Belanda yang disiagakan di Pantai Goa Lawah tak sanggup menahan gempuran laskar Kusamba. Terang saja van Swieten geram. Lewat utusan Gusti Gede Rai, pemimpin laskar Lombok yang bersekutu dengan Belanda guna membalaskan dendam kepada pihak Karangasem, tiga hari berselang dia pun menyurati Raja Klungkung dengan ancaman: bila dalam waktu delapan hari Kusamba tidak diserahkan kepada Belanda, Kusamba bakal diserbu kembali, sekaligus dengan Ibukota Klungkung. Pendudukan Klungkung atas Kusamba oleh van Swieten dinilai melanggar kehendak perdamaian yang bakal digelar 2 Juni 1849, yang juga bakal dihadiri pihak Raja Gianyar dan Mengwi. Ancaman demikian malah membikin Raja Istri Kanya yang di mata Belanda dinilai berwatak keras kepala itu tersinggung. Lewat surat 9 Juni 1849 yang ditandatangani Adipati Dewa Agung Ketut Agung, Raja Putri yang juga dikenal doyan susastra-agama (nyastra) itu menampik berunding. Van Swieten dengan ancamannya dituding telah menghina Raja Klungkung yang berdaulat atas wilayah kerajaannya. Lagi pula amat tak sopan meminta raja sahabat mendatangi perundingan dengan Belanda. Dalam versi Istri Kanya, bila memang berniat bersahabat dan berdamai, semestinya van Swieten-lah datang menghadap dan meminta maaf, karena telah menyerang dan memporandakan Kusamba. Terang saja Raja Klungkung tahu risiko atas suratnya itu. Laskar dititahkan kian rapat membentengi Kusamba, dari Goa Lawah. Gelagat ini diketahui Belanda, sehingga pada 9 Juni 1849 berangkatlah mereka dari Padang Cove dengan 3.000 pasuka, lengkap beserta 130-140 ribu peluru. Persediaan makanan dalam jumlah lebih daripada cukup diberangkatkan dengan tujuh sampan. Bersama Belanda turut pula laskar Lombok. Sumber Belanda, seperti JWF Herfkens (1902), menyuratkan bahwa 10 Juni 1849, pukul 10 pagi, Kusamba jatuh lagi ke tangan Belanda. Jumlah 3.000 orang laskar Kusamba bersenjata tombak dan keris tak kuasa menahan gempuran pasukan Belanda. Mereka mundur ke Klungkung dan sekitarnya. Sedianya hari itu juga van Swieten meneruskan serangannya ke Klungkung. Namun, jarum sejarah kemudian berbelok arah manakala pebisnis yang juga petualang sekaligus agen Belanda yang dekat dan dipercaya banyak kalangan petinggi kerajaan di Bali, Mads Lange, menemui van Swieten di Kusamba. Dia meminta komandan pasukan Belanda itu mengurungkan niatnya menyerang Klungkung karena di Klungkung saat itu telah ada 16 ribu laskar Tabanan dan Badung. Yang tercatat kemudian, hampir 60 tahun berselang setelah Perang Kusamba, barulah Klungkung dan seluruh Bali ditaklukkan. Tapi, di kawasan berilalang lebat bernama Kusanegara (kusa = ilalang), yang kelak tenar dengan nama Kusamba itu kekalahan Klungkung, dan juga simbolik Bali, tidak sia-sia, apalagi konyol. Di ujung timur Klungkung itu, bukan cuma tergelar keberanian laskar Bali, tapi juga siasat dan penyikapan hidup nan jelas. Sungguh tak sering Belanda kehilangan panglima perang dalam pertempuran di Bali maupun di Nusantara. Tak kerap pula Belanda menuai duka dan malu dalam pertempuran dengan pribumi. Namun di Kusamba semua itu menikam sang jagoan, tiada diduga. Seperti Bali yang tak bakal bisa menghapus sejarahnya pernah dijajah Belanda, begitulah Belanda tak bakal bisa meniadakan kisah kehilangan panglima perangnya di Kusamba. Tapi, kenapa Bali justru suka membanggakan kekalahan di masa lampau, dan pada saat bersamaan malah abai, lupa bercermin dari hikmah kemenangan untuk taktik dan strategi “pertempuran” di masa depan, dan juga masa kini? Spirit kemenangan monumental di Kusamba itu sepatutnya tak begitu saja diabaikan, dilupakan hanya karena dia tidak berada di pusat kekuasan, dan juga tidak merenggut korban dari kalangan pusat kekuasaan istana kerajaan. Di Kusamba yang terenggut sebagai kurban cuma rakyat, laskar, memang. Tapi, adakah dengan begitu lantas peran monumental mereka (betapapun tidak bernama) yang merenggut panglima perang musuh sangat mudah untuk dihapuskan, bahkan sekadar sebagai inspirasi kebangkitan pun tidak pantas dibanggakan? Kenapa manakala raja terenggut, kalah di medan perang, lantas dicatat sebagai hero, diperingati riuh, bingar? Saatnya Bali mengakhiri diskriminasi versi penguasa begini kepada generasi mendatang: bukan cuma raja yang kalah patut dikenang, rakyat yang menang pun sangat patut pula dihargai. I Ketut Sumarta |
posted by Bali @ 07.02 |
|
|
|
|