Tenganan Pegeringsingan Salah satu masyarakat BALI AGE di Bali, suatu siang bulan Juli 2004. Tidak tampak ada yang berubah secara fisik ketika melewati gerbang kecil, memasuki desa adat di Kabupaten Karangasem di timur Bali itu. Meskipun Bali seperti magnet yang terus-menerus menarik saya untuk selalu datang dan datang lagi, tetapi sebelum Juli lalu kunjungan saya terakhir ke Tenganan adalah delapan tahun lalu. DELAPAN tahun lalu Tenganan yang saya datangi sedang dalam suasana meriah. Masyarakat Bali Aga atau Bali asli yang sudah ada sebelum Kerajaan Majapahit (1294-1478) di Jawa yang merupakan sumber spiritual sebgian besar masyarakat Bali itu tengah merayakan upacara menghormati dewa perang Indra. Para pemuda setempat saling "berperang" memakai daun pandan berduri. Luka-luka berdarah menggores di kulit tangan dan dada telanjang mereka yang berwarna tembaga, tetapi tidak ada dendam atau kemarahan di sana. Juli 2004 lalu Matahari menyengat pada siang yang kering. Jalan desa tampak lengang. Penduduk lebih suka berteduh di rumah, sementara turis hanya satu-dua terlihat. Sopir saya menjelaskan, bila ingin melihat penenunan kain geringsing dari Tenganan yang terkenal ke seluruh dunia, bisa datang ke salah satu kios. Tetapi, saya lebih tertarik langsung masuk ke dalam desa yang dipagari tembok dan mendatangi rumah pertama yang paling dekat dengan pintu gerbang yang pintunya tampak terbuka. Bentuk desa sangat khas: bujur sangkar dengan empat pintu yang menggambarkan empat penjuru angin. Rumah-rumah berada di bagian tepi dan tengah, dari luar tampak seperti satu baris tembok putih dengan pintu-pintu masuk kecil. Di antara jajaran rumah bagian tepi dan tengah terdapat jalan sangat lebar tersusun dari jajaran batu kali. Di situ berdiri antara lain lumbung padi di atas empat tiang dengan atap rumbia dan bangunan panggung kayu terbuka tempat upacara. Semua tampak bersahaja, tanpa ukiran meriah seperti pada pura milik umat Hindu umumnya di Bali. Beberapa pohon besar masih bertahan di jalan berbatu yang hanya dilalui orang, sepeda, dan motor yang di sana-sini dihiasi kotoran kerbau, hewan peliharaan milik desa yang berkeliaran bebas di sana. Kuburan berada di luar tembok desa dan tanah pertanian serta hutan yang subur milik bersama mengelilingi kompleks perumahan. Berbeda dari masyarakat Hindu Bali lainnya, masyarakat Tenganan memuja Indra, tidak mengenal kasta, tidak mengenal kremasi untuk melepas arwah yang meninggal. MEME Swarna (50), pemilik rumah paling ujung dekat gerbang masuk ke kampung adat, sedang duduk bersama ibunya yang tampak uzur. Rumah bagian depannya dipenuhi geringsing, diseliling beberapa kain dari Lombok dan Sumba. Ibunya dulu menenun dan Meme juga pernah belajar menenun. Dia mengeluh, sedikit sekali pembeli kain geringsing saat-saat ini. Bom di Kuta pada Oktober 2002 memerosotkan turis ke Tenganan, yang berarti menurun juga penjualan kain. Padahal, Meme sedang membutuhkan uang cukup besar untuk upacara melepas arwah suaminya yang sebelumnya menjabat kepala desa. Dia menawari saya kain geringsing, satu-satunya tenun di dunia yang menggunakan teknik ikat ganda yaitu motif dibentuk melalui pewarnaan dengan mengikat bagian-bagian benang pakan dan benang lungsi secara terpisah. Motif akan tampak setelah kain selesai ditenun. Meskipun mengaku butuh uang, Meme bersikukuh dengan harga yang dia tetapkan. Delapan tahun lalu saya sudah membeli sehelai gerising, tetapi ukurannya kecil meskipun warnanya yang merah marun, biru kehitaman, bercampur putih kekuningan sangat cantik. Karena dari Jakarta saya sudah meniatkan membeli lagi sehelai dengan ukuran lebih besar dan motif berbeda, akhirnya saya ambil sehelai, tak berkutik oleh kegigihan Meme. Kali ini saya cukup puas dengan kain motif lubeng, walaupun tetap ingin suatu saat memiliki kain motif wayang yang merupakan karya puncak penenun Tenganan mengingat rumitnya motif. Menenun adalah kerja perempuan. Hampir semua perempuan di Tenganan terlibat di dalamnya karena kain merupakan inti kehidupan Tenganan. Masyarakat Bali Aga ini dan orang di luar Tenganan percaya geringsing memiliki kekuatan magis yang melindungi mereka dari sakit dan kekuatan jahat. Tetapi, yang terutama, semua ritual adat melibatkan kain. Kepala Desa Tenganan I Putu Suarjana, SS (30), yang mengepalai 144 keluarga dengan 645 jiwa mengajak saya memasuki salah satu rumah (tiap rumah di Tenganan selalu terbagi atas bangunan tempat melakukan upacara, bagian untuk kegiatan sehari-hari, dapur, dan bagian tempat meninggal yang masing-masing terpisah). Menurut Suarjana, di rumah itu tinggal penenun geringsing yang hasil tenunnya tergolong bagus. Perempuan itu masih muda, berusia 20-an tahun. Ternyata dia baru saja akan beristirahat dari menenun, tetapi masih mau duduk tegak di lantai dengan alat tenun gendongnya ketika Putu meminta dia memeragakan cara menenun untuk saya. Melihat dia memasukkan setiap helai benang pakan di antara benang lungsi dengan teliti dan penuh kesabaran, saya semakin menghargai mengapa geringsing begitu terkenal. Bila dihitung dari proses membuat warna, mengikat dan mewarnai benang, hingga menenun, sehelai kain bisa menghabiskan waktu minimal satu tahun dan bahkan bisa 10 tahun. Waktu terlama dihabiskan untuk membuat warna yang pemeramannya bisa bertahun-tahun demi mendapat warna yang "matang". Ini pun bisa berisiko warna yang dihasilkan tak sesuai. Pewarnaan selalu menggunakan bahan alam. Warna dasar kuning didapat dari minyak kemiri. Kemudian bagian-bagian benang katun diikat kuat-kuat-dari sinilah nama ikat dikenal di seluruh dunia-lalu dicelup warna biru indigo dari cairan daun Indigo tinctoria, dan terakhir adalah memberi warna merah dari kulit akar pohon sunti (Morinda citrifolia). Pekerjaan terumit adalah mengikat karena harus sangat tepat agar ketika ditenun motif pada benang lungsi bertemu pas dengan benang pakan. Entah dari mana asalnya, tetapi sampai sekarang masih ada yang mengira warna merah geringsing berasal dari darah. Mungkin kepercayaan mengenai kekuatan magis kain itu lalu menghasilkan mitos sendiri. KARENA geringsing begitu penting dalam kehidupan masyarakat Tenganan, kain ini seperti cermin perjalanan kehidupan masyarakat setempat. Di antara kain-kain dengan warna merah tanah, biru-hitam, serta putih kekuningan yang matang yang dijual di tempat Nengah Swarna dan Putu Suarjana, kita juga melihat kain dengan warna lebih muda dan dalam motif lebih sederhana. Ketut Karni, saudari Putu Suarjana, mengatakan, bahkan pewarna yang dianggap gagal pun tidak dibuang, melainkan dijadikan tenun juga dan dijual dengan harga lebih murah. Dia mencontohkan kain tersebut yang juga terdapat di tokonya di bagian depan rumahnya. Dari kain geringsing tampak bagaimana sebuah masyarakat berjuang mempertahankan identitasnya di tengah arus globalisasi manusia dan uang. Turisme massal dan pasar dunia yang bersedia membayar mahal untuk geringsing berkualitas rata-rata, tidak mendorong produksi geringsing berkualitas tinggi. Mangku Widia (56), salah satu pemangku adat dan pelestari kain geringsing, berusaha meredam kemerosotan kualitas itu dengan membangun pusat informasi untuk generasi muda Tenganan dan orang luar Tenganan. "Boleh ada kain yang dibuat untuk pasar, tetapi tetap harus ada yang menenun untuk kualitas," kata Mangku Widia. Kini diketahui ada 22 motif geringsing, meskipun sebagian kecil saja yang sering dibuat. Matahari perlahan tergelincir ke ufuk barat, suasana desa terasa lebih hidup. Anak-anak berlarian di jalan lebar berbatu dan perempuan setengah umur keluar dari balik tembok rumah mereka. Sambil berjalan memutari desa, Putu Suarjana menyuarakan kecemasannya. "Kami memegang teguh adat kami di sini jangan sampai seperti yang terjadi di Kuta," katanya. Ucapan Suarjana tak berlebihan. Saya masih merasakan keramahan yang hangat masyarakat, tidak ada yang memaksa membeli apa pun di sana seperti yang terjadi di tempat lain, bahkan di pura terbesar di Bali, Besakih. Tenganan adalah cerita tentang masyarakat yang terus berjuang mempertahankan identitas yang mereka banggakan sebagai orang Bali asli. Waktu memang terasa bergerak lambat di sana, tetapi kain geringsing dalam warna-warna yang tidak matang menjadi penanda betapa beratnya pertarungan itu. (Ninuk Mardiana Pambudy) |