Ketika baru memasuki pusat Kota Semarapura, orang tentu bakal dapat menyaksikan beberapa elemen kota yang cukup unik dan menarik, seperti adanya patung ''Kanda Pat'' di simpang empat, jajaran pertokoan, Monumen Puputan Klungkung dan beberapa peninggalan seperti Bale Kertha Ghosa, Bale Kambang, Pamedal Agung, hingga Museum Semarapura. Kompleks ini terletak di seputar perempatan Jalan Untung Surapati - Jalan Puputan. Mengenang Hari Puputan Klungkung dan HUT Kota Semarapura, 28 April 2005 lalu, apa saja yang bisa disimak dari tampilan beberapa peninggalan arsitekturnya? ----------------------- SEPERTINYA, pusat Kota Semarapura dan sekitarnya, diperkaya pula oleh adanya sisa peninggalan arsitektur bersejarah. Dari gambar ilustrasi yang diperoleh dari beberapa sumber -- Ir. I Nengah Lanus (ilustrasi site plan), Adrian Vicker (Kerta Ghosa) dan Ida Bagus Sidemen ("Puputan Klungkung 1908") -- terlihat gambar Puri Klungkung yang luas dan padat massa bangunan, sebelum dihancurkan oleh musuh kerajaan, silam. Di sebelah timur laut dan barat laut perempatan, dulu merupakan alun-alun. Ketika itu, di tenggaranya ada wantilan, pasar, Puri Delod Pasar. Dan, di barat dayanya ada Puri Klungkung, lokasi tempat berdiri Kertha Ghosa, bale kambang, pamedal agung dan museum sekarang. Kondisi semua yang tergambarkan itu masih utuh sebelum terjadi Puputan Klungkung. Konon dulu, salah satu peninggalan historis seperti Kertha Ghosa, merupakan tempat rapat, berembug atau ruang musyawarah Raja Klungkung bersama para patih dan pemuka kerajaan. Itu berlangsung tatkala kerajaan Klungkung belum jatuh, atau saat bangunan puri belum "dibumihanguskan" Belanda. Sementara bale kambang atau Taman Gili merupakan sebagai balai sidang dan pengadilan, atau tempat memutuskan hasil rapat. Pun ada bagian puri yang tak turut hancur, seperti pamedal agung, masih kokoh berdiri dengan keaslian bentuk, ornamen dan ragam hiasnya. Ada keunikan lain, di antara dore dan penukub gelung kori atau pamedal agung-nya menempel beberapa patung manusia (orang Belanda?), bahkan ada duduk patung hewan di bawahnya. Apa kira-kira makna keberadaan patung-patung itu? Adakah itu sebagai simbol bahwa puri telah diduduki dan dikuasai manakala puputan berakhir? Mungkinkah patung-patung yang "bertengger" di atas itu dibuat dan dipasang orang Belanda usai puputan -- sebagai kenangan dan kemenangan kolonial di masa silam? Konon di depan pamedal agung itulah Raja Klungkung, Ida Dewa Agung Putera -- juga dikenal dengan nama Ida Dewa Agung Jambe -- gugur setelah kena tembakan meriam Belanda, dari jarak sekitar 200 meter. Tragedi berdarah Puputan Klungkung itu terjadi pada 28 April 1908 (Ide Anak Agung Gde Agung, "Bali pada Abad XIX", 1989). Para pembesar kerajaan yang setia kepada raja, keluarga raja, perempuan dan anak-anak tewas diberondong senapan pasukan altileri dan infanteri Belanda ketika itu. Di barat pamedal agung ada museum. Sepertinya bangunan ini telah mengalami rehabilitasi usai puputan. Style bangunan museum ini, sebagian mendapat pengaruh dari gaya Belanda. Pilar tinggi besar, atap canopy bentuk pelana. Selasar bangunan ditopang pula oleh pilar-pilarnya. Bagian luar bataran -- di depan bawah pilar -- terdapat relief tapel barong dan kekarangan di kiri-kanan bawahnya. Bataran itu sendiri cukup tinggi, sekitar 1,5 meter dari muka tanah. Bentuk pae masing-masing pilar berlapis-lapis, bagian bawah pilar masih ada pepalihan gelang lutung, baong capung, sesari, dan lain-lain. Citra Kota Warisan arsitektur peninggalan Puri Klungkung, di bawah pemerintahan raja Ida Dewa Agung Jambe tempo dulu itu, merupakan bagian dari "mutiara" arsitektur puri yang diluluhlantakkan kolonial penjajah dan antek-anteknya, pada 1908. Untuk mengenang peristiwa bersejarah itu, didirikan pula Monumen Puputan Klungkung, rancangan arsitek Ir. Ida Ayu Armely (pemenang sayembara monumen, 1982), yang peletakan batu pertamanya dilakukan pada 28 April 1986 oleh Bupati Kepala Daerah Tk. II Klungkung, dr. Tjokorde Gde Agung. Wujud monumennya mengacu pada konsep filosofi "lingga-yoni" (purusa-pradana). Monumen itu memiliki ketinggian 28 meter dari permukaan tanah, 4 pintu dan 8 anak tangga. Bilangan tersebut memaknai monumen dalam hubungannya dengan peristiwa Puputan Klungkung, yang terjadi pada 28 bulan 4 (April) tahun 1908. Di dalam atau interiornya dipajang patung Raja Klungkung, Ida Dewa Agung Jambe bersama pengikut setianya, dilengkapi atau dikelilingi beberapa diorama kisah perjuangan rakyat Bali. Bersamaan dengan peresmian Monumen Puputan Klungkung ini, Kota Klungkung pun diubah dan diresmikan namanya menjadi Kota Semarapura pada 28 April 1992 oleh Menteri Dalam Negeri, Rudini, berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No.18 tahun 1992. Selanjutnya, setiap 28 April ditetapkan sebagai Hari Puputan Klungkung dan HUT Kota Semarapura. Di titik perempatan Jl. Untung Surapati - Jl. Puputan, ada Patung "Kanda Pat", karya arsitek Ida Bagus Tugur. Empat patung yang mengambil filosofi "Catur Sanak" bersama-sama memperoleh makna dari mitologi tentang air suci yang berasal dari "Sindu Rahasia Muka". Patung ini berlatar kisah tentang keempat "saudara" manusia saat lahir yakni ari-ari (Sang Anta), tali pusar (Sang Preta), darah (Sang Kala) dan air nyom (Sang Dengen), usai mendapat anugerah, berganti nama menjadi Sang Anggapati (Bhagawan Penyarikan) berkedudukan di timur, Sang Prajapati (Bhagawan Mrcukunda) di selatan, Sang Banaspati (Bhagawan Sindu Pati) di barat dan Sang Banaspatiraja (Bhagawan Tatul) di utara. Adanya arsitektur bernilai sejarah, monumen puputan, sampai patung religius-historis di pusat kota Semarapura merupakan sebagai salah satu aspek yang berperan mengaktualisasikan citra kota itu sendiri. Sebagaimana diungkap Ir. Eko Budihardjo, M.Sc. (dalam "Arsitektur dan Kota di Indonesia", 1983), ada beberapa tolok ukur yang sepantasnya digunakan dalam penggalian, pelestarian dan pengembangan identitas kota yakni (1) nilai kesejarahan, dalam arti sejarah perjuangan nasional maupun sejarah perkembangan kota, (2) nilai arsitektur lokal/tradisional, (3) nilai arkeologis (candi-candi, benteng, gua), (4) nilai religiositas, (5) nilai kekhasan dan keunikan setempat, baik dalam kegiatan sosial ekonomi maupun sosial budaya, (6) nilai keselarasan antara lingkungan buatan dengan potensi alam yang dimilikinya. Kota Semarapura punya peninggalan arsitektur yang memiliki beberapa nilai dari tolok ukur seperti itu lantaran punya nilai historis, arkeologis, religiositas, arsitektur lokal, nilai kekhasan, keunikan dan keselarasan. Kiranya, perihal yang bisa diungkap itu merupakan sebagai "roh" yang menjiwai eksistensi arsitekturnya. Sendi Lempeh Memasuki kompleks bekas puri, sekarang bisa ditemukan tiga buah candi bentar pada tembok pembatas (panyengker) luarnya. Sebuah terdapat di panyengker timur (pintu masuk pengunjung/wisatawan) dan dua lagi di utara. Satu candi bentar ada dalam halaman, sebagai gerbang masuk menuju bale kambang atau Taman Gili, dihubungkan oleh jalan setapak ber-panyengker. Di atas panyengker itu berdiri patung-patung berbagai jenis dan ukuran, di antaranya patung Semar, Petruk, patung Dewa-Dewi dan lain-lain. Bangunan Taman Gili memiliki dua lapis bataran, dicapai melalui sekitar 10 anak tangga hingga lantai teratas. Pada dasarnya, bangunan Gili ini memiliki tiga lapis ketinggian. Lantai pertama, dikitari kolam, keliling tepinya memiliki 27 jenis patung. Sementara tepi terluar kolam itu sendiri memiliki 35 jenis patung (12 di sebelah barat, 12 di timur dan 11 di selatan). Bangunan beratap dimulai dari lantai (bataran) kedua dengan 14 tiang atau saka. Separo bagian ke atas dari tiang-tiangnya berukir dan memiliki canggah wang. Sendi yang ada pada setiap saka berbentuk lempeh (ceper) bujur sangkar, khas dan unik berukir, berukuran sekitar 50 x 50 cm berketinggian 25 cm. Berlantai terakota berpola pasangan bata mendatar. Lantai ini berfungsi sebagai selasar keliling dari bentuk denah segi empat panjang -- memanjang arah utara-selatan). Menginjak lantai tertinggi, ditemukan pula 14 saka, namun di sini sepenuh tiang-tiangnya berukir. Tepi lantai dikelilingi dengan railing kayu motif jaro, berketinggian sekitar 40 cm dari muka lantainya. Sendi-sendi di bawah tiang berukuran jauh lebih kecil ketimbang sendi-sendi lantai sebelumnya. Namun bahan lantainya serupa dengan material lantai selasar. Konstruksi pertemuan bagian atas tiang dengan balok aslinya tak memiliki canggah wang, kini -- untuk membantu kekuatan konstruksi -- dipasang besi plat kecil (lebar 3 cm) menyangga sineb dan lambang-nya. Pada bagian kedua balok yang membentang di bawah atap (ekspose) masing-masing duduk patung singa bersayap, dengan corak dan warna sedikit berbeda. Lebih unik lagi, bidang langit-langit bangunan bale kambang ini sepenuhnya bergambar gaya Kamasan-Klungkung dengan narasi (cerita) Ramayana dan Mahabharata. Warna putih gading kekuning-kuningan. Atap sepenuhnya ditutupi ijuk. Kertha Ghosa Bagaimana dengan bangunan Kertha Ghosa itu sendiri? Denah lantai bangunan ini bersegi empat bujur sangkar. Bataran (lantai) pertama relatif tinggi, nyaris mencapai 2,5 meter dari muka tanah. Untuk memasuki bangunan ini mesti melalui anak tangga yang letaknya menyatu di sebelah barat bangunan dengan railing bentuk naga. Lantai (bataran) pertama memiliki 10 tiang (saka) berukir. Setiap tiang ditumpu sendi bermotif patung binatang, di antaranya ada patung gajah, domba, babi, kucing, sapi, sampai macan. Tepi bataran dikelilingi railing kayu berketinggian sekitar 60 cm dari muka lantai. Lantai di atasnya (naik dua undag) terdapat pula 10 saka berukir. Di ruangan ini masih dipajang satu set furniture (enam kursi berukir dan sebuah meja) sebagai tempat rapat atau bermusyawarah di zaman kerajaan dulu. Langit-langit sepenuhnya dilapisi lukisan khas gaya Kamasan. Bagian konstruksi kap yang tampak di atas hanya kayu pamucu dan usuk pengapit. Bataran bangunan ini sengaja dibuat tinggi, mungkin lantaran Sang Raja dan para patih serta pengikutnya ingin bisa secara langsung mengamati aktivitas masyarakat yang ada di luar, maupun pemandangan di halaman dalam. Dari sini pula Taman Gili dapat dilihat dan dinikmati dengan jelas. Bagian dari elemen kota yang dimiliki itu memberi identitas pada kota itu sendiri. Maka, jati diri yang dipunyai kota merupakan sebagai salah satu komponen yang memberi citra. Kendati hanya beberapa massa bangunan bekas puri yang tersisa. Bila disimak ke belakang, terbilang banyak gugus massa bangunan lainnya telah dirobohkan Belanda kala itu. Sebut saja kelompok bangunan puri berarsitektur Bali seperti kanya bawa, saren gede, saren kangin, bale mas, petandakan, rangki, siangan, raja dani, puri gunung, semarabawa, ruang tidur istri raja, ruang tidur putri raja, pewaregan, hingga pamengkang. Namun, semua itu telah lenyap, kini tinggal kenangan. Apa yang bisa disaksikan sekarang, patutlah untuk tetap dijaga dan dilestarikan. Pemeliharaan serta perawatan bangunan, baik terhadap peninggalan bersejarah yang ada maupun yang menyusul telah dibangun, seperti Monumen Puputan Klungkung, patung "Kanda Pat" dan patung-patung lainnya, serta gedung perkantoran baru bernuansa Bali, turut memberi kontribusi perkuat identitas dan citra Kota Semarapura. |