Banten Bengu (upakara/ sajen yang busuk) jelas dilarang dalam Lontar Yadnya Prakerti, di mana disebutkan bahwa banten yang sudah dihaturkan kepada Hyang Widhi atau leluhur oleh para Sulinggih hendaknya dimakan oleh para Bhakta sebagai "lungsuran" atau dalam istilah Weda disebut sebagai "Prasadham". |
| Oleh karena itu tinggal mengatur caranya bagaimana agar banten tidak bengu (busuk) misalnya: -
Banten dikerjakan hari itu juga oleh banyak tukang banten, dibagi-bagi menurut keahliannya masing-masing pada jam yang ditentukan, berapa lama membuatnya sehingga jadwal ngaturin bisa tepat waktu. -
Jika menggunakan daging, juga diatur kapan memasaknya dan agar benar-benar matang. -
Banten yang sudah dihaturkan segera di "lungsur" untuk dibagikan kepada para Bhakta dimakan sebagai berkat. -
Jika Odalan berlangsung beberapa hari, tiap hari harus ada banten "anyar" (baru) yang masih segar, sedangkan sisa-sisa banten kemarin sudah dimakan atau dibuang (yang tidak bisa dimakan seperti batang pisang, janur, dll). -
Menggoreng sesuatu agar dengan minyak yang baik agar tidak "piing". -
Buah-buahan dan janur pilih yang awet misalnya buah nenas, sawo, mangga, pisang dan janur dari daun rontal. Masih banyak lagi kiat yang lain silahkan kembangkan sendiri. Jika anda menemukan banten bengu (jangan heran di Besakih sering ada banten bengu misalnya sate gayah yang tingginya 10 meter terbuat dari lemak babi sudah dipajang ditempatnya ya kehujanan keanginan selama Bethara nyejer bisa 42 hari). Nah itu ulah manusia yang tidak tahu makna banten. Jadi yang salah "The Singer" bukan "The Song". Rekan-rekan sedharma jangan cepat kecewa dengan Bali. Bali itu indah hanya manusianya yang kurang mengerti. Para Sulinggih mestinya menjelaskan hal ini kepada semeton sedharma. |