Ajaran Yoga adalah ajaran terpenting dalam agama Hindu. Dalam sejarah Agama Hindu telah ditemui istilah Yogisawra dalam perabadan Pra-Weda, yaitu dalam peradaban Harappa. Dan istilah Yogiswara menjadi istilah sangat penting dalam ajaran Siwa – Agama maupun Buddha – Agama, yang juga diwarisi di Indonesia. Dalam sejarah kesusastraan Hindu di Indonesia misalnya. Kakawin Ramayana sebagai karya sastra tertua yang ditulis di Indonesia, pengarangnya disebut sebagai Sang Yogiswara. Tiga istilah yaitu Yogiswara, Muniswara dan Kawiswara, ada;ah istilah-istilah yang begitu produktif dipakai dalam khasanah kesusastraan Kawi. Ketiga istilah tersebut berhubungan satu dengan yang lainnya, yang diikat oleh benang merah ajaran yoga. Seorang Yogiswara atau seorang Mahayogi jelas adalah yang melakukan praktik yoga dan telah mencapai puncak tujuan praktik tersebut ; seorang Muniswara atau seorang Mahapandita yang juga disebut seorang Mahasadhaka, adalah juga orang yang melaksanakan praktik yoga, karena sadhaka artinya Ia yang melaksanakan sadhana yoga ; sementara itu seorang Kawiswara atau seorang Mahakawi atau pujangga besar diketahui melaksanakan Yogasastra, yaitu melaksanakan praktik yoga dalam proses penciptaan karya sastra, dan menjadikan karya sastranya sebagai Candi bahasa atau Candi sastra. Demikianlah ketiga istilah tersebut dihubungkan oleh satu kata yaitu praktik yoga atau yoga-sadhana, dengan menampilkan diri berbeda dalam pandangan umum. Hal ini juga menyebabkan timbulnya istilah kawi-wiku. Oleh karena itu sudah dapat dipastikan seorang Yogiswara, Muniswara, maupun Kawiswara kiranya memiliki acuan pokok yang sama, berupa ajaran yoga. Kakawin Dharma Sunya menyuratkan pada awalnya sebagai berikut : ambek sang kawi siddha suddha kadi sagara gumawanga teka nirmala, iccha nispriya sara ning kalengengan yatika pasamudaya ning rasa, tatwajnana wekas nikang paramasastra sira ta pinakadipandita, saskat lingga nikang sarat pinaka dipa yasa nira huwus prakasita // sang sampun kretatatwa mangkana wenan mijilakena kawitwa ring sabha, saksat hyang paramesthi labdha manganugraha ri sira rikang kasatwikan, lawan yukti nikang saraswati huwus ri hidep ire wisesa tan kasah, nahan hetu nira n prasiddha sawuwus nira ya ta mangaran kawiswara// Disini ditegaskan bahwa pikiran seorang kawi yang telah sempurna suci bagaikan samudra ; Beliu bebas dari keinginan, Beliau menjadi sarinya keindahan dan kumpulan rasa. Beliau memahami hakikat Tattwajnana (pengetahuan tentang kenyataan tertinggi), Paramasastra (Pustaka-pustaka utama), sehingga Beliau disebut sebagai Pandita Utama. Beliau benar-benar bagaikan Lingganya dunia, Beliau adalah penerangnya dunia dan karya-karyanya menyebar luas. Beliau yang telah mencapai tingkat sperti itu patut menghadirkan karya sastra kepada masyarakat luas. Beliau benar-benar bagaikan telah mendapat anugerah dari Hyang Paramesti berupa ajran kebenaran. Serta Hyang Paramesti berupa ajaran kebenaran. Serta Hyang Saraswati telah bersatu dengan-Nya. Itulah sebabnya segala kata-katanya berhasil sehingga Beliau disebut seorang Kawiswara. Petikan di atas telah menegaskan bahwa ada sumber pokok yang menjadi bacaan utama baik seorang Kawi maupun seorang Pandita, yaitu antara lain berupa Tattwajnana engandung ajaran Yoga, dan kitab-kitab tersebut terwariskan sampai sekarang. Di samping itu karya-karya sastra jelas merupakan tuangan ajran yoga itu sendiri, malah memuat bagaimana ajaran itu dipraktekkan, diwujudkan dalam proses bersastra.
Ajaran Yoga dalam Teks Tattwa dan Sasana Umat Hindu Indonesia mewarisi sejumlah Tattwa, yang menurut para peneliti memuat tulisan teoogi yang sangat penting. Kitab-kitab tersebut antara lain Bhuwana Kosa, Wrehaspatitattwa, Tattwajnana, Jnana Sidhanta dan yang lain. Dalam tulisan singkat ini kita akan mencoba membaca kitab-kitab tersebut. Bhuwanakosa adalah kitab Tattwa yang paling tua yang ditemui dalam tradisi Hindu di Indonesia, memuat sloka-sloka Sansekerta dengan terjemahan dalam bahasa Kawi atau Jawa Kuna. Kitab-kitab Tattwa yang muncul kemudian mengambil bahannya dari karya tertua yang bersifat Siwa-Sidhanta tersebut. Pada bagian awal Bhuwana-Kosa, yaitu pada bait kedua kita telah menemui kata Yogiswara, yang menunjukkan bahwa kitab ini ditujukan kepada para siswa yoga. “Nahan takwanaknani nghulun ri Bhatara, hana ya pada Sunya, ya sinangguh kamoksan, nga, wisesa ya, ya Siwa ngaranya. Nariksyate, katon pwa ya de Sang yogiswara, kutah desa, ndi teka desa katonan ira, sajna Bhatara, an mangkana kattamaning wuwus Sang Resi, yata karengo de Bhatara”. Di sini dijelaskan bahwa alam Sunya dikatakan sebagai alam Kamoksan, itu disebut sebagai Siwa. Alam itu nampak oleh Sang Yogiswara, oleh karena itu diajukan pertanyaan dimanakah tempat alam itu ? Maka selanjutnya uraianpun berpusar pada ajaran Yoga tersebut. Bhuwana Kosa secara rinci menjelaskan tentang alam Siwa yang dilihat oleh para yogi, bersamaan dengan itu ajaran yoga diuraikan. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa Bhuwana Kosa adalah sumber ajaran yoga, walaupun menjadi sumber yang menjadi bacaan bagi para siswa yoga yang telah memiliki dasar-dasar pengetahuan yoga yang kuat. Oleh karena itu pula kitab ini bukan bacaan umum, sehingga dirasakan tidak sistematik. Uraian yang lebih sistematik, lebih mudah dipahami adalah tertuang dalam kitab Wrehaspatitattwa. Kitab ini memuat percakapan antara Bhagawan Wrehaspati dengan Bhatara Iswara. Bhagawan Wrehaspati mengajukan berbagai pertanyaan yang dijawab oleh Bhatara Iswara, dengan sesekali menegaskan supaya ajaran yang dituangkan tidak disebar luaskan kepada umum, karena mengandung hal-hal yang bersifat rahasia. Ajaran dimaksud antara lain menyangkut Paramatattwa, trigunatattwa, Dasendriyatattwa, Pancamahabuhuta-tattwa, Dasanadi, Dasabaya atau Dasaprana, Dasasila dll. Dalam Kitab Wrehaspatiatattwa ajaran yoga mendapat uraian khusus, tetapi juga penjelasan hubungannya dengan ajaran Tattwa dan Janana. Ajaran Yoga memang diuraian pada bagian akhir dalam kitab ini. Ajaran Yoga pertama-tama diuraikan dalam kaitannya dengan ajaran Dharma (bagian dari Catur aiswaraya), terdiri atas Sila, Yajna, Tapa, Dana Prawrajya, Bhiksu dan Yoga. Yoga yang dimaksud disii adalah senantiasa melakukan samadhi (yoga ngaraning magawe samadhi). Selanjutnya secara mendalam diuraikan apa yang disebut sebagai Sad Anggayoga. “Nahan tang sadanggayoga ngaranya, ika ta sadhana ning sang mahyun umangguhakena sang hyang wisesa denika, pahawas tang hidepta, haywa ta iweng-iweng dentangrengo sang hyang aji, hana pratyaharayoga ngaranya, hana samadhiyoga ngaraya, nahan tang sadanggayoga ngaranya//. Di sini dijelaskan apa yang disebut dengan Sad Anggayoga yaitu terdiri atas pratiharayoga, tarkayoga dan Samadhiyoga. Kitab Werhaspatitattwa selanjutnya menguraikan masing-masing dari Sad anggayoga sebagai Jnana sang pandita. Sand anggayoga patut dijaga oleh Dasasila (Yateka karaksa ring Dasasila). Lebih lanjut diuraikan tentang Dasasila tersebut sebagai berikut : Ahngsa ngaranya tan pamati-mati, brahmacarya ngaranya tan ahyunarabyat satya ngaranya tatan mithyawacana, awyawaharika ngaranya tan awiwada, tan adol awelya, tan pangunadosa, astainya ngarannya tan amaling-maling, tan angalap drewya ning Iyan yan tan ubhaya, akrodha ngaranya tan bwat serengen, gurususrusa ngaranya bhakti aguru, sauca ngaranya nitya majapa maradina sarira, aharalaghawa ngaranya tan paleh-paleha, pengepongen ikang hurip sadhana ning magawaya yoga samadhi, haywa hinelem-helem, gawayakena tekang sadhana, sadhana ngaranya ikang yoga, yatika umungguh lawan inungwan ngaranya, ika ta sang prayatna gumayekena ikang rwa, sila lawan jnana, yatika tan pramada ngaranya, nahan yang dasasila ngaranya, pangraksa ri sag yogiswara ring samadhi nira, ngkana ta sang yogiswara yang pamanggehaken jnana mangkana, yatka turyapada ngaranya, kapanggih tekan jnana luput sakeng sarira, luput sangken mayatattawa, yeka turyantapada ngaranya, apan hana sira jiwanmukta, (jiwanmukta) ngaranya moksa tuturung hurip, apan ikang niskala kapngguh, de nira ri kalangin masamadhi, umapa pwa kapngguh, de nira ri kalangin masamadhi, umapa pwa tan hilang ikang sarira nira, apan atutur ikang karmawasama tapwan henti, seden tinunwanireng ogawahni, nihan dening menghilangkaen mala ikan jagrapada matemu lawan ikang turyapada, ri patemwan ika karwa irika tan yan saptanggam saptagni, saptamarta. Dalam petikan ini telah dijelaskan apa yang dimaksud dengan Dasasila yang merupakan landasan etika dalam praktek yoga. Di tempat lain Dasasila disebut sebagai yama yang niyama yang masing-masing berjumlah lima. Dan hal ini diuraikan secara mendalam di dalam kitab-kitab sasana seperti Siwasasana dan Bratisasana, kitab Sasana yang menjadi pegangan pokok para Sadhaka. Di samping itu Kitab Wrehaspatitattwa juga menjelaskan tentang Dasanadi, Dasabayu dan Dasaprana, hal-hal yang menjadi penting dalam praktek yoga. Pada bagian akhir Wrehaspatitattwa menjelaskan tentang tingkatan Samadhi bagi seorang Yogiswara, disamping berbagai hal yang patut diwaspadai oleh para yogi dalam melaksanakan samadhinya. Kitab Jaba Sidhanta adalah sumber penting tentang ajaran yoga. Kitab ini menguraikan Sadhanayoga secara luas dan mendalam termasuk tentang Sad anggayoga. Apa yang dimaksud denga Sad Anggayoga adalah sama dengan apa yang terurai di dalam Wrehaspatitattwa, hanya saja Jnana-Siddhanta ada menegaskan apa yang disebut sebagai Yogiswara (sinangguh yogiswara) antara lain disebutkan : Gumegong Nirmala-Jnana. Mangkana denta maneketaken ri patemunta lawan Bhattara Parama Wisesa, sang haneng hrdaya sphatika, ri guha ning pusuh-pusuh. Haywa kataman drywa wenang-wenang saprakara mwan salwir ning trsna ; anak rabi, rajah tamah, moha, damba mas arya, kimburu, grahi grahaka, pisuna, irsya. Ndah srawaka ta kita ri tan hana ning pekulen waneh. Anghing Bhattara Wisesa sira kayatnakenanta ring samadhi, sandhi-jnana samahita. Yajna-nirmala-sphatika nga, Ri katemwan Bhattara. Mapageh subaddha tan linggara Bhatara teguh pratipatti nga. Atisaya yukti ni bhakti prayatna rikolahan ing citta-nirmala. Langgon ring kanirayan, wruh ring kaparalihan. Ya ta hening ning hening. Ya ta sandhi ning hening nitya. Asahan ikang nirmala ngaranya letuh ning citta ; ya ta asahan ring jnana-saphatika nga. Hening-hening ta dumadyaken katemwan ing sunyata nihsamsaya. Ya ta sinanggh Yogiswara nga. Selanjutnya diuraikan hal-hal yang agak teknis dalam praktik yoga misalnya dijelaskan bahwa hanya Hyang Siwa yang hendaknya menjadi sasaran tingkah laku, hanya Beliaulah hendaknya didengarkan jangan memandang yang lain hanya Beliaulah hendaknya yang dipandang, jangan mengucapkan yang lain kecuali mengucapkan Beliau, dan seterusnya. Ini disebut dengan istilah anabhawa, ekacitta, anikarna, anawakya, adrestha-drestha, animesa, anasa. Jnana-Siddhanta memang lebih banyak menguraikan jalan kematian, jalan kematian yang benar sesuai dengan ajaran yoga. Kemanunggalan dengan Bhatara Siwa adalah tujuan akhir dia yang menempuh jalan itu. Dan kemanggulan bukanlah kematian, tapi sesungguhnya adalah kehidupan yang kekal. Sementara itu kitab-kitab Sasana lebih banyak menguraikan tentang Dasasila. Ratisasana mengawali uraian tentang Yamabrata dan Niyambrata yang disebut sebagai sasana sang wiku. Setelah memahami ajaran sasana tersebut barulah seseorang nabe terhadap sisinya. Pada saat itu sang nabe memberikan mantra tertentu kepada sisianya dan sang nabe menyatukan diri dengan sisiannya tersebut. Tanpa diksa menurut kitab-kitab Siwaisme, japa, mantra, puja, yang dilakukan akan sia-sia. Itulah sebabnya Siwa sasana secara mendalam menguraikan ketentuan berguru sebagai ketentuan yang paling penting yang harus diperhatikan baik oleh nabe maupun sisia atau calon diksata. Setelah didiksa seseorang masih berada dibawah pengawasan sang nabe, sang nabe dapat memberikan hukuman kepadanya apabila melakukan kesalahan. Itulah sebabnya Siwa sasana membahas secara panjang lebar pelanggaran dan hukuman yang berkau bagi pada Sadhaka. Lewat kitab-kitab sasana tersebut diatas dapat diketahui bahwa ajaran yoga itu telah dilembagakan, sebagai sistem aguron-guron. Oleh karena itu mereka yang menempuh jalan yoga patut dituntun oleh seorang guru, dan kepadanya sang sisia “menyatukan” dirinya. |