Sang Hyang Buddha yang menitis kepada putra Prabu Mahaketu, raja Ngastina, yang bernama Raden Sutasoma. Setelah dewasa, sang raden sangat rajin beribadah, cinta akan agama Buddha (Mahayana). Ia menolak dikawinkan dan dinobatkan menjadi raja. Pada suatu malam, sang raden meloloskan diri dari negaranya ketika pintu-pintu yang tertutup terbuka dengan sendirinya untuk memberi jalan kepadanya. Ketika kepergian sang raden diketahui, seisi istana gempar. Sang Prabu dan permaisuri sangat sedih, lalu dihibur oleh orang banyak. Tiba di hutan sang raden memuja dalam sebuah candi, tidak berapa lama datanglah Bhatari Widyukarali yang bertitah bahwa persembahyangan sang raden telah diterima. Kemudian sang raden mendaki gunung Himalaya diantarkan oleh beberapa orang pendeta. Sampai di sebuah pertapaan, sang raden mendapat penjelasan mengenai riwayatnya dan diceritakan juga adanya seorang raja, titisan raja raksasa yang gemar memakan manusia. Raja itu bernama Prabu Purusada atau Kalmasapada. Sejarah raja ini demikian. Pada suatu hari, daging persediaan santapan raja hilang dimakan anjing dan babi. Juru masak bingung dan tergesa-gesa mencari daging untuk pengganti, namun tidak mendapatkannya. Pergilah ia ketempat pembuangan mayat, mengiris sekerat daging pada paha seorang manusia yang baru saja meninggal kemudian dimasaknya. Sang Prabu merasa sangat nikmat menyantap daging tersebut, karena ia memang titisan raksasa. Bertanyalah ia kepada juru masak, daging apakah yang dipersembahkannya itu. Karena diancam akan dibunuh, kalau ia tidak berterus terang, maka juru masak ini pun mengatakan bahwa santapan itu adalah daging manusia. Sang Prabu menjadi gemar memakan daging manusia, penduduk negara habis karena dimakan atau mengungsi ke negeri lain. Sang Prabu kemudian, atas kehendak Tuhan mengalami luka pada kakinya yang tidak dapat disembuhkan, malahan ia menjadi raksasa, berdiam di hutan dan menjadi penghulu hutan itu.
Pada suau hari, sang Prabu bernazar (berjanji) akan mempersembahkan seratus raja untuk santapan Bhatara Kala, bila dapat sembuh dari malapetakanya itu. Sang Sutasoma diminta oleh para pendeta untuk membunuh raja raksasa itu. Akan tetapi, ia tidak mengabulkan permintaan itu. Sesaat kemudian Bhatari Pertiwi keluar dari dasar bumi dan ikut memohon sang raden supaya sudi membunuh sang Kalmasapada, namun sang raden tetap menolak. Malahan ia meneruskan perjalanannya hendak bertapa.
Di tengah jalan berjumpalah sang raden dengan raksasa berkepala gajah yang biasa makan daging manusia juga. Sang raden hendak dijadikan mangsanya. Ketika dilawan bergulat raksasa itu jatuh di bawah, tertimpa sang raden serasa tertimpa gunung beratnya. Raksasa berkepala gajah menyerah kalah dan diberi pelajaran agama Buddha. Kepadanya diajarkan bahwa ia tidak boleh membunuh dan akhirnya raksasa itu tunduk serta menjadi muridnya.
Dalam perjalanan selanjutnya, bertemulah sang raden dengan seekor naga yang hendak menyerang. Raksasa berkepala gajah melemparkan tubuhnya ke depan naga itu untuk menahannya. Naga yang telah membelit raksasa itu kemudian jatuh lemas dan tidak berdaya akibat terkenal pengaruh sang raden. Sang Naga pun menjadi muridnya.
Ketika sampai di tepi tebing, bersuaralah sang raden kepada seekor macam betina yang hendak memangsa anaknya. Sang raden mencegah kehendak induk macan itu, namun induk macan mengatakan bahwa perutnya sangat lapar, dan tidak lagi mampu menangkap kijang, atau rusa seekor pun, maka anaknya sendiri akan dijadikan mangsanya. Sang raden berkata : “Saya sajalah yang dijadikan mangsa, kasihan anakmu”. Macan meraung ganas, sang raden diterkam, digigit dadanya, diisaplah darahnya sepuas-puasnya dan terasalah badannya menjadi segar bugar laksana minum tirta-amerta. Akan tetapi, setelah sadar akan perbuatannya yang jahat itu, sangatlah menyesal ia dalam hatinya dan menangislah di telapak kaki mayat sang raden, sedianya hanya hendak mati.
Ketika itu, datanglah Bhatara Indra dan sang raden dihidupkan kembali. Sang raden menyalahkan Bhatara Indra mengapa orang yang sudah merasa senang dan nikmat itu dihidupkan kembali. Bhatara Indra pun menjawabnya, kalau sang raden itu tidak hidup kembali dan macan betina terlanjur mati pula, maka belas kasihan pertolongan sang raden niscaya akan sia-sia saja, sebab anak macan itu akan mati juga oleh karena ditinggalkan induknya, tidak ada yang menyusui. Setelah berkata demikian, maka Bhatara Indra pun gaiblah, sang raden lalu memberi pelajaran kepada pengikutnya.
Setelah itu sang raden bertapa seorang diri dalam sebuah goa serta teguh dalam menerima godaan. Bhatara Indra datang sendiri dan menyamar sebagai putri cantik molek. Meskipun demikian, sang raden tetap teguh, malahan menjelma menjadi Bhatara Buddha Wairocana. Sesaat kemudian datanglah dewa menghormatinya. Setelah pulih kembali menjadi sang Sutasoma maka pulanglah ia.
Sang Prabu Dasabahu, saudara sepupu sang raden berperang melawan bala tentara raksasa Prabu Kalsamapada. Raksasa-raksasa kalah, lari mengungsi kepada sang raden. Prabu Dasabahu mengejarnya dan sang raden diserangnya juga. Akhirnya, sang Prabu mengetahui pula bahwa ia berhadapan dengan saudara sepupunya sendiri dan diajaklah sang raden pulang ke negerinya, dijadikan iparnya. Sehabis perhelatan, pulanglah sang raden ke Ngastina kemudian ia dinobatkan menjadi raja Ngastina bergelar prabu Sutasoma.
Syahdan Prabu Purusada (Kalmasapada) sudah berhasil menawan 99 orang raja yang telah dimasukkan ke dalam penjara. Untuk mencapai jumlah seratus raja, ia kekurangan seorang raja lagi. Pergilah ia memerangi Ngalengka, namun rajanya tidak dapat ditawan karena gugur di medan perang.
Prabu Purusada kemudian menyamar menjadi pendeta dan datang mengemis kepada raja Widarba dan Raja Widarba dapat tertawan. Karena jumlah seratus raja telah lengkap, maka segera dipersembahkan kepada Bhatara Kala, tetapi Bhatara Kala tidak berkenan menyantapnya karena Bhatara Kala ingin menyantap raja Ngastina, Prabu Sutasoma. Sang Purusada pergi memerangi Ngastina dan bertempur melawan putra-putra raja yang mengungsi ke Ngastina.
Akhirnya, sang Sutasoma sendiri berhadapan dengan Purusada. Lama kelamaan, karena melawan dengan kesabaran saja, Raja Ngastina dapat juga dibawa kehadapan Bhatara Kala. Prabu Sutasoma bersedia menjadi santapan sang Bhatara, asal para raja lainnya (yang seratus orang itu) dibebaskan. Bhatara Kala sangat berkenaan hati mendengar ucapan semacam itu. Sang Purusada pun terharu menyaksikan kerelaan Sang Prabu Sutasoma, ia bertobat dan berjanji tidak akan makan daging manusia, dan raja yang seratus oang itu pun dibebaskan.
Demikian Sinopsis Sutasoma dan Peruwatan Kabinal, bahwa dengan kesabaran hati dan kasih sayang bisa mem
|