Pohon pisang diberi
panugrahan sebagai sarana banten oleh
Bhagawan Salukat (salah seorang
Maha Rsi yang menerima wahyu Ida Sanghyang Widhi) karena sifat berkorban yang luar biasa yang dilaksanakan oleh pohon pisang (
Brahman yang ada di pohon pisang).
Sifat berkorban pohon pisang benar-benar murni, tanpa pamrih sama sekali; pisang tumbuh dan berkembang bukan dari buahnya, tetapi dari bungkilnya. Walaupun demikian dia bersusah-susah tumbuh hanya sekali dalam hidupnya untuk berbuah yang setelah masak dihaturkan kepada mahluk lain (bukan dirinya) misalnya : manusia, kera, burung, dll. Setelah berbuah, pohon pisang mati. Jadi dia tumbuh hanya untuk orang lain dan hanya sekali. Alangkah suci mulianya
Atman si pohon pisang.
Berbeda dengan pohon durian. Dia membuat buah terus menerus setiap tahun; buah yang harum lezat disajikannya, dengan maksud agar dimakan gajah atau manusia, lalu bijinya dibuang dan tumbuhlah pohon durian yang baru. Jadi dia berbuat 100% dengan pamrih.
Semua jenis buah pisang kecuali
pisang gedang, dapat dipakai
banten, namun banyak berkait dengan selera manusia (misalnya jarang yang menghaturkan
pisang klutuk, tetapi daunnya sering dipakai banten); selain itu ada yang berhubungan dengan banten tertentu seperti
pisang kayu,
pisang mas, dan
pisang tembaga.
7. Dalam
Mpulutuk Bebanten tidak diatur dengan tegas apakah bermewah-mewah atau beririt-irit; namun karena banten itu sifatnya "bantuan" atau "
nyasa" = pengganti yang sebenarnya, maka bentuk dan kelengkapan banten mempengaruhi perasaan manusia dalam berbakti kepada-Nya.
Oleh karena itu kebijaksanaan sang "
Wiku" (wiku = Brahmana = wikan = pintar; karena pintar lalu mempunyai "
wiweka" = kebijaksanaan) untuk menyarankan kepada warganya agar menyesuaikan bentuk banten menurut kemampuan materiilnya.
Selanjutnya tugas Pandita/Wiku menghantar puja bebanten itu disertai dengan
Mantram Panca Upacara untuk melengkapi kekurangan-kekurangan bebanten.
Prinsipnya adalah jangan sampai batal me-
yadnya karena hambatan materiil yang sebenarnya bisa dihemat.