Tirta Pengentas pada upacara Pitra Yadnya, gunanya memberi petunjuk arah tujuan roh atau atma yaitu Sunia Loka. Dibuat oleh Pandita/ Sulinggih yang memimpin upacara atau lazim disebut yang " ngentas atma". di samping tirta pengentas, ada tirta panembak yaitu tirta yang gunanya membebaskan halangan-halangan dalam perjalanan atma, misalnya gangguan-gangguan dari roh gentayangan. Mahluk gaib di Bali dikenal dengan nama BHUTA. Menurut Lontar Kala Tattwa, Hyang Widhi dalam manifestasinya sebagai Bhatara Siwa, mempunyai "putra" bernama Bhatara Kala. Bhatara Kala juga bermanifestasi sebagai Bhuta, yang bertugas mengontrol manusia di bumi. Manusia perlu diawasi karena kemampuan "idep" (daya pikir)-nya luar biasa. Jika tidak diawasi dunia bisa hancur karena ulah manusia. Karena itu Bhuta juga dinamakan Bhuta-Kala. Selain itu bhuta-kala juga bertugas menguji keyakinan dan kebulatan tekad manusia dalam meyadnya. Ia menggoda manusia yang ingin mendekatkan diri kepada Hyang Widhi. Di test dulu apa benar-benar mau berbhakti. Bhuta-kala bisa berwujud godaan menggiurkan, bisa yang menakutkan atau membahayakan. Seperti contoh berita ngaben berdarah di Ketewel (?), saya menduga itu godaan Bhuta-Kala kepada kelompok warga, sehingga rupanya mereka kalah pada godaan yang bersumber dari kata-kata, sampai terjadi peristiwa yang memilukan itu. Atma (roh manusia yang mati) yang masih terikat oleh belenggu Panca Mahabhuta (badan kasar) dan Panca Tanmatra (pengaruh indria), ada dalam situasi "Neraka". Bila lebih dari setahun tidak di-"aben" maka tulang belulangnya dikuasai Bhuta Cuil yang gentayangan mencari preti sentana menimbulkan mala petaka dengan tujuan mengingatkan preti sentana untuk mengurus/ membebaskan roh leluhurnya dengan upacara Pitra Yadnya. (Sumber: Lontar Yama Purana Tattwa). Kematian yang baik adalah seperti kematian Panca Pandawa. Dimulai dari kematian Nakula-Sadewa (analogy kaki), disusul kematian Bimasena (analogy tenaga), disusul Arjuna (analogy sinar mata) dan terakhir Yudistira (analogy atma meninggalkan badan melalui siwadwara / ubun-ubun). Artinya orang yang mati secara baik, kematiannya mulai dari kaki yang lumpuh, tenaga/ energy panas badan yang hilang (makanya terasa dingin), sinar mata yang hilang (tidak cemerlang) dan terakhir detak jantung hilang karena atma sebagai motor penggerak sudah pergi. Orang yang mati karena kecelakaan atau bunuh diri prosedur kematiannya tidak seperti itu. Semua terjadi seketika. Itu sebabnya dinamakan "salah pati" atau "ngulah pati". Oleh karena itu rohnya perlu disadarkan bahwa "dia" sudah tidak punya badan lagi, dengan upacara "ngulapin". Bila tidak demikian inilah menjadi roh gentayangan, ke sana ke mari mengira masih punya badan / tubuh. |