Berikut ini kutipan dari buku: Pengantar Agama Hindu untuk Perguruan Tinggi, Cudamani, Yayasan Dharma Sarathi, Jakarta 1990.: Intisari Upanisad: Sorga dan Neraka bukan suatu tempat dan bukan pula suatu bentuk yang pasti melainkan suatu "state of mind" yaitu keadaan pikiran bahagia atau menderita. Kalau pikiran dalam keadaan senang dan bahagia maka itulah sorga sebaliknya bila pikiran sedih dan menderita itulah neraka. Ukuran senang dan menderita adalah relatip, misalnya ketika hidup pikiran ingin berbuat amoral kemudian tercapai maka manusia puas dan senang; apakah ini juga dinamakan sorga? Mungkin dari sini ada istilah pelesetan "sorga duniawi". Sebaliknya ada orang yang ingin menegakkan dharma kemudian ia mendapat tantangan bahkan cemohan sehingga ia sedih, apakah ini juga dikatakan neraka?. Pikiran ada semasa manusia hidup maupun sesudah mati. Roh manusia semasa hidup dibungkus oleh pikiran (sukma sarira) dan tubuh (stula sarira). Pikiran membuat tubuh beraktivitas dan hasil aktivitas itu mempengaruhi roh. Pada manusia yang mati stula sarira hancur (karena ditanam maupun di bakar) namun sukma sarira tidak. Roh yang dibungkus pikiran lepas bagaikan udara yang dibungkus kembungan. Begitulah keadaannya, misalnya bila semasa hidup pikiran senang berbuat amoral dapat dengan mudah menggerakkan tubuh berbuat amoral sehingga memuaskan pikiran, maka ketika sudah mati pikiran inipun ingin tetap berbuat amoral tetapi tidak ada tubuh yang bisa diperintah beraktivitas maka dalam keadaan demikian pikiran menderita; itulah yang disebut neraka. Roh yang tiada lain adalah atman selalu berusaha menyatu dengan Brahman (Hyang Widhi) yang suci. Penyatuan ini bisa terjadi bila roh terlepas dari ikatan pikiran keduniawian. Bila hal itu terjadi (ibarat udara dalam kembungan yang menyatu dengan udara bebas) yang disebut sebagai "amoring acintya" atau MOKSA, tercapailah sorga. Di alam sorga tiada lagi kesusahan, sehingga disebut "sukha tanpawali duhkha" Sebaliknya bila roh masih dibungkus kuat oleh pikiran keduniawian atau disebut sebagai masih terikat (belum bebas) maka penyatuan atman dengan brahman tidak terjadi. Dalam keadaan ini atman akan menjelma kembali (reinkarnasi) berulang-ulang. Selanjutnya pengertian Moksa menurut Radhakrishnan: Moksa literally means release, from bondage to the sensuous and the individual, the narrow and the finite. It is the result of self-enlargement and freedom. Jadi moksa adalah kelepasan dari ikatan panca indra, pikiran, dan kepicikan. Moksa merupakan pahala dari kebesaran jiwa dan kebebasan. Tentang moksa atau manunggalnya atman dengan Brahman menurut kitab-kitab Upanisad dapat dicapai dalam kehidupan ataupun setelah meninggal dunia. Moksa yang dicapai semasa hidup dinamakan Jivam Mukta sedangkan moksa yang dicapai setelah meninggal disebut Videha Mukta. Manusia yang sudah mencapai Jivam Mukta bila meninggal dunia pasti mencapai Videha Mukta. Hal ini lebih tegas disebutkan dalam Mundaka Upanisad III.2.6: Vedanta vignanasu niscitarthah, samnyasa yogad yatayah sudha sattvah, te Brahmalokesu paranta kale, paramrtah parimucyanti sarve. Artinya: para siswa yang telah menyucikan sifat/ pribadinya dengan penuh disiplin melaksanakan yoga dan yang telah menemukan tempat berlindung dalam Tuhan (Hyang Widhi), yang telah sepenuhnya mempelajari kitab-kitab Vedanta yang melenyapkan kegelapan, mencapai Brahman karena telah melepas seluruh ikatan; dan pada mereka tidak ada kelahiran kembali. KESIMPULAN: Moksa adalah kebahagiaan sejati. Kebahagiaan sejati adalah sorga yang sebenarnya. Moksa dapat dicapai dengan upaya yang tekun melaksanakan catur marga, yaitu: .....................(bersambung) |