Dalam hal pengamalan ajaran agama Hindu terutama dalam praktek-praktek keagamaan memang terdapat cukup banyak perbedaan antara umat Hindu di Bali Utara dengan Bali Selatan. Misalnya, di Bali Utara upacara potong gigi tidak begitu popular dilakukan, di Bali selatan lumbrah. Di Bali utara merayakan hari suci Pagerwesi gemanya seperti Galungan di Bali selatan dan lain-lain.
Begitu pun terhadap apa yang dikemukakan di atas tentang begitu menjoloknya perbedaan jenis-jenis palinggih yang ada di sanggah/merajan daerah Buleleng dengan Bali selatan.
Seperti sudah sering dikatakan dengan sifat ajaran agama Hindu yang supel, fleksibel dan selalu mangacu pada anutan desa-kala-patra serta dresta, menjadikan praktek keagamaan yang dilakukan oleh umat Hindu hampir selalu menampakkan perbedaan. Namun patut di catat bahwa penampakkan perbedaan itu hanya menyangkut soal ‘kulit’, sedang perihal ‘isi’ yang berhubungan dengan hakekat, tujuan, kasuksman, filosofi dan atau tattwanya tetap berpijak pada konsep yang sama/satu yaitu Weda dengan berbagai penjabarannya.
Berpijak pada pernyataan ini, maka apa pun namanya, berapa pun jumblah palinggih yang dibangun, asal itu didirikan di natah pekarangan bagi suatu keluarga maka tetaplah dikategotikan sebagai Pura Kawitan sengan sebutan Sanggah/Marajan. Ada sebutan Pura Kawitan yang lebih tinggi kedudukannya terutama dilihat dari jumblah penyiwi/penyungsungnya yaitu Gedong Pratiwi, Palinggih, Ibu (Paibon), Pura Panti (Dadya) dan akhirnya pedharman-pedharman di kompleks Pura Besakih.
Lalu soal keinginan keluarga-keluarga yang baru berumah tangga (ngarangin) untuk mendirikan sanggah/merajan sesuai dengan apa yang sudah umum dibangun yang lebih sedikit dengan mematok tiga pelinggih : Kamulan, Taksu, dan Tugu, kiranya boleh-boleh saja. Apalagi ketentuan pendirian palinggih di sanggah/merajan sesuai bunyi lontar Siwagama memang hanya sedemikian itulah jumblahnya. Masalahnya sekarang, adakalanya pendirian suatu palinggih tidak hanya berpijak pada sastra dresta tetapi ada juga yang berpegangan pada bhisama leluhur. Jika bhisama yang menjadi pegangan, maka kita dihadapkan posisi antara preti sentana (keturunan) dengan para leluhur yang wajib dijalankan pewarah-warahnya. Jika demikian persoalannya, maka semua keputusan untuk terus mengikuti petunjuk bhisama atau mengikuti pembangunan zaman terpulang pada sikap satya preti sentana masing-masing. Tapi ingat, berbhakti kepada kawitan/leluhur adalah dharma tertinggi.
|